JAKARTA, koranmetro.com – Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, melontarkan kritik keras terhadap rencana pemerintah Israel untuk membangun apa yang disebut sebagai “kota kemanusiaan” di Rafah, Gaza selatan. Dalam wawancara dengan The Guardian, Olmert menyebut rencana tersebut sebagai “kamp konsentrasi” yang berpotensi menjadi bagian dari pembersihan etnis terhadap warga Palestina. Pernyataan ini memicu kontroversi besar, terutama karena perbandingan dengan kamp Nazi dianggap sangat sensitif di Israel.
Latar Belakang Rencana Relokasi
Rencana yang diusulkan oleh Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, dan didukung oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, bertujuan untuk merelokasi sekitar 600.000 warga Palestina dari wilayah al-Mawasi di Gaza selatan ke “kota kemanusiaan” yang akan dibangun di atas reruntuhan Rafah. Secara bertahap, seluruh penduduk Gaza yang berjumlah lebih dari dua juta jiwa diharapkan dipindahkan ke zona ini. Menurut Katz, warga yang memasuki zona tersebut akan melewati pemeriksaan keamanan dan tidak diizinkan keluar, kecuali untuk tujuan emigrasi ke luar negeri.
Pemerintah Israel mengklaim bahwa langkah ini bertujuan untuk melindungi warga sipil Palestina selama operasi militer melawan Hamas. Namun, banyak pihak, termasuk Olmert, mempertanyakan motif sebenarnya di balik rencana ini, terutama setelah pernyataan beberapa menteri sayap kanan yang menggunakan istilah seperti “membersihkan” Gaza dan mendorong pembangunan pemukiman Israel di wilayah tersebut.
Kritik Olmert: Kamp Konsentrasi dan Pembersihan Etnis
Olmert, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Israel dari 2006 hingga 2009, tidak ragu menyebut rencana tersebut sebagai “kamp konsentrasi.” Ia menegaskan bahwa jika warga Palestina dipaksa pindah ke “kota kemanusiaan” ini, hal itu akan dianggap sebagai bagian dari pembersihan etnis. “Ketika mereka membangun kamp untuk ‘membersihkan’ lebih dari setengah Gaza, maka pemahaman yang tak terelakkan adalah bahwa ini bukan untuk menyelamatkan warga Palestina. Ini untuk mendeportasi mereka, mengusir mereka, dan membuang mereka,” ujar Olmert.
Ia juga menyoroti retorika ekstrem dari beberapa menteri di pemerintahan Netanyahu, seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, yang secara terbuka mendukung pengusiran warga Palestina dan ekspansi pemukiman di Gaza dan Tepi Barat. Olmert menyebut mereka sebagai “musuh dari dalam” yang membahayakan keamanan jangka panjang Israel.
Meski demikian, Olmert menegaskan bahwa ia tidak menganggap operasi militer Israel saat ini sebagai pembersihan etnis, karena evakuasi warga sipil untuk melindungi mereka dari konflik diizinkan oleh hukum internasional, dan banyak warga Palestina telah kembali ke wilayah yang telah selesai dioperasikan militer. Namun, ia memperingatkan bahwa rencana “kota kemanusiaan” ini melampaui batas tersebut dan dapat dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Reaksi Domestik dan Internasional
Kritik Olmert tidak berdiri sendiri. Mantan Perdana Menteri Israel lainnya, Yair Lapid, juga mengecam rencana tersebut, dengan menyatakan bahwa jika warga Palestina dilarang keluar dari zona tersebut, maka itu adalah “kamp konsentrasi.” Selain itu, mantan Menteri Pertahanan Israel, Moshe Ya’alon, menyebut rencana tersebut sebagai “pembersihan etnis, transfer, atau deportasi” yang merupakan kejahatan perang.
Di tingkat internasional, Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini.warning bahwa rencana ini dapat menciptakan “kamp konsentrasi besar-besaran” yang berisiko menjadi “Nakba kedua,” merujuk pada pengusiran massal warga Palestina pada 1948. Mantan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, juga mengutuk rencana ini sebagai “operasi pembersihan etnis terbesar sejak Perang Dunia Kedua.”
Militer Israel sendiri dilaporkan menentang rencana ini, memperingatkan bahwa pembangunan “kota kemanusiaan” dapat mengganggu negosiasi gencatan senjata dan pembebasan sandera dengan Hamas. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Eyal Zamir, dikabarkan berselisih dengan Netanyahu dan menteri-menteri sayap kanan dalam pertemuan kabinet, menegaskan bahwa proyek ini dapat merusak tujuan militer utama.
Kontroversi dan Implikasi
Pernyataan Olmert, terutama perbandingan dengan kamp konsentrasi era Nazi, memicu reaksi keras di dalam negeri. Kantor Perdana Menteri Israel menyebut Olmert sebagai “penutup aib Israel” dan menegaskan bahwa tujuan relokasi adalah untuk mengevakuasi warga sipil, bukan mendeportasi mereka. Namun, kritik dari dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa rencana ini dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk mengubah demografi Gaza secara permanen.
Rencana ini juga telah dikaitkan dengan diskusi antara Netanyahu dan mantan Presiden AS Donald Trump, yang dilaporkan mendukung gagasan relokasi warga Palestina dari Gaza. Hal ini menambah dimensi geopolitik pada kontroversi tersebut, dengan beberapa pihak menuduh adanya agenda untuk memfasilitasi emigrasi massal warga Palestina ke negara lain.
Menuju Solusi Dua Negara
Di tengah kritiknya, Olmert tetap optimis bahwa solusi dua negara masih mungkin tercapai. Ia mengaku bekerja sama dengan mantan Menteri Luar Negeri Palestina, Nasser al-Kidwa, untuk memajukan resolusi internasional yang dapat mengakhiri konflik di Gaza. Olmert menyarankan bahwa kesepakatan bersejarah untuk mengakhiri perang di Gaza dapat dipertukarkan dengan normalisasi hubungan dengan Arab Saudi, namun hal ini memerlukan kemauan politik dari Netanyahu yang menurutnya kurang terlihat.
Rencana “kota kemanusiaan” di Rafah telah memicu perdebatan sengit, tidak hanya di Israel tetapi juga di komunitas internasional. Kritik dari tokoh-tokoh seperti Ehud Olmert, Yair Lapid, dan pejabat internasional menyoroti risiko pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional. Dengan meningkatnya tekanan domestik dan global, masa depan rencana ini tetap tidak pasti, sementara dampaknya terhadap negosiasi gencatan senjata dan stabilitas kawasan terus menjadi perhatian utama.