JAKARTA, koranmetro.com – Kebijakan pemberian remisi kepada narapidana korupsi kembali menuai kritik tajam dari mantan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eks Ketua KPK menyoroti potensi penyalahgunaan dan praktik transaksi ilegal dalam sistem pemberian remisi, yang dinilai dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Apa Itu Remisi dan Mengapa Kontroversial?
Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang diberikan kepada narapidana berdasarkan persyaratan tertentu, seperti perilaku baik selama menjalani hukuman atau memperingati hari-hari besar nasional. Namun, ketika remisi diberikan kepada koruptor, kebijakan ini sering kali menimbulkan pro dan kontra.
Bagi sebagian pihak, remisi dianggap sebagai bagian dari hak narapidana untuk mendapatkan rehabilitasi. Namun, bagi yang lain, pemberian remisi kepada koruptor dinilai tidak adil karena korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merugikan negara dan masyarakat.
Kritik dari Eks Ketua KPK
Mantan Ketua KPK menyatakan bahwa sistem pemberian remisi saat ini rentan disalahgunakan. “Remisi seharusnya diberikan dengan pertimbangan yang ketat, terutama untuk kasus korupsi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sistem ini berpotensi dibeli dan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan,” ujarnya.
Ia juga mengkhawatirkan adanya praktik suap atau transaksi ilegal dalam proses pemberian remisi. “Jika remisi bisa dibeli, maka ini akan menjadi celah baru bagi koruptor untuk melunasi hukumannya dengan uang. Ini jelas bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Potensi Melemahkan Pemberantasan Korupsi
Kritik ini bukan tanpa alasan. Pemberian remisi kepada koruptor dinilai dapat mengurangi efek jera dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Koruptor yang seharusnya menjalani hukuman penuh justru bisa bebas lebih cepat, sehingga menimbulkan kesan bahwa hukum di Indonesia tidak tegas terhadap pelaku korupsi.
Selain itu, praktik penyalahgunaan remisi juga dapat merusak citra sistem peradilan dan lembaga pemasyarakatan. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum jika remisi diberikan secara tidak transparan dan tidak adil.
Solusi yang Ditawarkan
Untuk mencegah penyalahgunaan, Eks Ketua KPK menyarankan agar pemerintah dan lembaga terkait melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemberian remisi. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Memperketat Persyaratan Remisi untuk Koruptor: Koruptor seharusnya tidak mendapatkan remisi kecuali memenuhi kriteria yang sangat ketat, seperti kontribusi nyata kepada negara selama menjalani hukuman.
- Transparansi Proses Pemberian Remisi: Mekanisme pemberian remisi harus dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik untuk mencegah praktik manipulasi.
- Pengawasan oleh Lembaga Independen: Perlu adanya pengawasan dari lembaga independen untuk memastikan bahwa remisi diberikan secara adil dan tidak melanggar hukum.
Dampak Jangka Panjang
Jika sistem pemberian remisi tidak diperbaiki, dikhawatirkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan semakin terhambat. Koruptor akan merasa bahwa hukum tidak memiliki gigi yang cukup tajam untuk menghukum mereka, sementara masyarakat semakin skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi.
Eks Ketua KPK menegaskan, “Pemberantasan korupsi bukan hanya tentang menangkap dan menghukum pelaku, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang adil dan tegas. Remisi untuk koruptor harus dikaji ulang agar tidak menjadi bumerang bagi upaya kita membangun Indonesia yang bersih dari korupsi.”