koranmetro.com – Kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong terus menjadi sorotan publik. Meskipun Tom Lembong telah menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa keputusan tersebut tidak menghapus unsur pidana dalam perkara tersebut. Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Sutikno, menjelaskan bahwa abolisi bersifat personal dan tidak berpengaruh terhadap proses hukum terhadap delapan tersangka lain.
Abolisi terhadap Tom Lembong diumumkan melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2025 pada akhir Juli 2025, setelah mendapat persetujuan DPR RI. Keputusan ini memungkinkan Tom bebas dari Rumah Tahanan Cipinang pada 1 Agustus 2025, setelah sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 18 Juli 2025. Vonis tersebut menyatakan Tom terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, merugikan negara hingga Rp 578 miliar akibat kekurangan bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).
Namun, Sutikno menekankan bahwa abolisi hanyalah hak prerogatif presiden untuk menghentikan proses hukum bagi individu tertentu, bukan pengakuan bahwa perbuatan tersebut tidak melanggar hukum. “Pemberian abolisi ini sifatnya personal, hanya untuk Thomas Trikasih Lembong. Yang lainnya tetap berjalan prosesnya,” ujar Sutikno di Kejaksaan Agung pada 1 Agustus 2025. Ia menambahkan bahwa unsur tindak pidana korupsi, termasuk perbuatan melawan hukum dalam pemberian izin impor gula tanpa rekomendasi yang tepat, tetap ada dan tidak tergugurkan oleh keputusan tersebut.
Latar Belakang Kasus Korupsi Impor Gula
Kasus ini bermula dari kebijakan impor gula kristal mentah (GKM) pada masa Tom Lembong menjabat sebagai Mendag. Tom didakwa menerbitkan persetujuan impor kepada delapan pabrik gula swasta tanpa koordinasi yang memadai dengan Kementerian Perindustrian dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Hal ini diduga melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula.
Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa Tom “sangat menyadari dan memahami” bahwa penerbitan izin tersebut melanggar ketentuan, meskipun tidak ada bukti ia menerima keuntungan pribadi (mens rea tidak terbukti sepenuhnya). Kerugian negara dihitung dari selisih harga impor yang lebih murah dibandingkan produksi domestik, serta pajak yang hilang. Dari 11 tersangka awal, Tom adalah satu-satunya yang mendapat abolisi, sementara sembilan importir dari kalangan korporasi—termasuk Tony Wijaya dari PT Angels Products—masih menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kontroversi dan Respons Para Terdakwa
Pemberian abolisi ini memicu perdebatan sengit di kalangan kuasa hukum terdakwa lainnya. Pengacara Hotman Paris Hutapea, yang mewakili para importir, mendesak Kejagung untuk mencabut dakwaan terhadap kliennya. Menurut Hotman, abolisi terhadap Tom sebagai “pelaku utama” seharusnya menghapus seluruh proses hukum terkait impor gula, karena Keppres menyatakan “semua proses hukum dan akibat hukum ditiadakan.” Ia bahkan meminta sidang ditunda seminggu untuk menunggu respons Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Majelis Hakim Tipikor, yang diketuai Dennie Arsan Fatika, menolak permohonan tersebut pada 5 Agustus 2025. Hakim menegaskan bahwa abolisi bersifat individual dan tidak memengaruhi perkara terpisah, meskipun kasusnya terkait. “Kami tetap melanjutkan, kecuali ada perkembangan baru,” kata Dennie. Kejagung juga menjawab secara tertulis bahwa proses terhadap terdakwa lain tetap berlanjut, karena unsur pidana korupsi tidak hilang hanya karena satu orang mendapat pengampunan.
Ahli hukum pidana dari Universitas Riau, Erdianto Effendi, yang dihadirkan sebagai saksi jaksa pada September 2025, mendukung sikap Kejagung. Ia menjelaskan bahwa abolisi hanya menghapus penuntutan terhadap Tom, bukan membatalkan fakta perbuatan melawan hukum secara keseluruhan. “Secara teori hukum pidana, pelaku utama yang dihapuskan hanya bersifat terbatas,” ujar Erdianto saat menjawab pertanyaan Hotman.
Implikasi Hukum dan Politik
Kasus ini menyoroti peran abolisi sebagai instrumen politik yang kontroversial. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa keputusan tersebut disepakati pemerintah dan DPR untuk memberi “kesempatan kedua” bagi Tom, yang juga aktif di dunia politik pasca-menjabat. Namun, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa abolisi tidak sama dengan pembebasan dari tuduhan. “Bagi kami, proses hukum terhadap yang lain tetap berjalan,” katanya pada 6 Agustus 2025.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai permintaan pencabutan dakwaan oleh terdakwa masuk akal secara logis, karena Tom dianggap “tidak bersalah” pasca-abolisi. Namun, secara hukum, hal itu tidak mengikat hakim atau jaksa. Saat ini, sidang terhadap sembilan terdakwa masih berlangsung, dengan dakwaan merugikan negara Rp 578 miliar. Kejagung berkomitmen melanjutkan proses untuk memastikan akuntabilitas dalam penanganan impor komoditas strategis seperti gula.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengampunan presiden, meski ampuh secara politik, tidak serta-merta membersihkan jejak korupsi. Kejagung menjanjikan transparansi penuh dalam proses selanjutnya, sementara publik menanti vonis akhir bagi para importir.









