koranmetro.com – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) membuat keputusan monumental yang berpotensi mengubah dinamika konflik Timur Tengah. Dengan suara bulat 13 mendukung, tanpa satu pun penolakan, dan hanya abstain dari Rusia serta China, DK PBB menyetujui resolusi AS yang mengotorisasi pengerahan Pasukan Stabilisasi Internasional (International Stabilization Force/ISF) ke Gaza. Resolusi ini, yang dikenal sebagai Resolusi 2803 (2025), tidak hanya membuka jalan bagi kekuatan multinasional untuk menjaga keamanan di wilayah yang hancur lebur akibat perang dua tahun antara Israel dan Hamas, tapi juga merangkum rencana perdamaian 20 poin Presiden AS Donald Trump sebagai kerangka transisi.
Keputusan ini datang pasca gencatan senjata rapuh yang dibroker Trump bulan lalu, di tengah krisis kemanusiaan yang menewaskan lebih dari 69.000 warga Palestina — mayoritas perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Sementara itu, Israel menegaskan oposisi tegas terhadap negara Palestina independen, menimbulkan pertanyaan besar tentang implementasi di lapangan. Apa isi resolusi ini, dan mengapa ia begitu krusial?
Latar Belakang: Dari Perang ke Harapan Damai
Konflik Gaza memasuki tahun ketiga pada 2025 dengan kehancuran infrastruktur yang mencapai 80% wilayah, menurut laporan PBB. Serangan Israel-Hamas sejak Oktober 2023 telah meninggalkan Gaza sebagai “zona mati”, dengan jutaan pengungsi dan bantuan kemanusiaan yang terhambat. Trump, yang kembali ke Gedung Putih, mengusulkan rencana 20 poin pada September 2025 yang mencakup gencatan senjata, demiliterisasi, dan rekonstruksi — sebuah visi yang awalnya menuai skeptisisme, tapi kini mendapat dukungan internasional.
Resolusi AS, yang disahkan dengan abstain dari Rusia dan China (yang mengkritiknya sebagai “beri kendali penuh ke AS”), membangun atas momentum itu. Duta Besar AS untuk PBB, Mike Waltz, menyebutnya sebagai “langkah signifikan menuju Gaza yang stabil, di mana Israel bisa hidup aman”. Trump sendiri memuji suara tersebut di media sosial sebagai “salah satu persetujuan terbesar dalam sejarah PBB”.
Isi Resolusi: Pasukan ISF dan Jalan Menuju Negara Palestina
Resolusi 2803 secara eksplisit mengotorisasi ISF sebagai koalisi pasukan penjaga perdamaian dari negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Azerbaijan, dan lainnya, di bawah komando terpadu. Tugas utama ISF meliputi:
- Menyediakan keamanan jangka pendek (minimal dua tahun) untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi.
- Demiliterisasi Gaza secara bertahap, termasuk pembubaran militer Hamas.
- Melindungi warga sipil dari kekerasan pasca-perang.
Selain itu, resolusi mendukung pembentukan Dewan Perdamaian (Board of Peace) sebagai otoritas transisi, yang akan dipimpin Trump, untuk mengoordinasikan bantuan, pembangunan, dan reformasi Otoritas Palestina di Tepi Barat. Yang paling menonjol, dokumen ini membuka “jalan kredibel” menuju negara Palestina independen — kondisi yang mungkin terpenuhi setelah reformasi Otoritas Palestina dan kemajuan rekonstruksi Gaza.
Namun, resolusi tidak menetapkan tenggat waktu pasti atau jaminan, hanya menyebut kemungkinan “setelah kemajuan signifikan”. Ini menjadi kompromi untuk mendapatkan dukungan dari dunia Arab dan Islam, yang diharapkan menyumbang pasukan ISF.
Reaksi Global: Harapan, Skeptisisme, dan Tantangan
Resolusi ini disambut antusiasme dari AS dan sekutunya. Trump menyebutnya “kemenangan besar” yang akan “membawa perdamaian lebih luas di dunia”. Sementara itu, Duta Besar Rusia Vasily Nebenzya mengkritiknya sebagai “memberi berkah pada inisiatif AS berdasarkan janji Washington”, khawatir Gaza jatuh di bawah kendali penuh “Dewan Perdamaian” tanpa detail jelas.
Di Timur Tengah, reaksi campur aduk. Hamas menolak kehadiran pasukan asing sebagai “pertukaran pendudukan Israel dengan pengawasan asing”. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan oposisi tegas terhadap negara Palestina, menimbulkan keraguan apakah Israel akan mengizinkan implementasi. Sementara itu, negara-negara Arab seperti Indonesia dan Azerbaijan menyambut baik, melihatnya sebagai peluang untuk peran aktif dalam perdamaian.
Pakar seperti Julian Borger dari The Guardian memperingatkan bahwa meski resolusi ini memberi legitimasi internasional, tantangan terbesar adalah koordinasi pasukan multinasional di zona konflik, di mana Hamas masih berpengaruh dan kelompok bersenjata lain mengintai.
Dampak dan Harapan ke Depan
Resolusi ini bukan akhir, tapi awal dari fase transisi yang kompleks. Dengan mandat hingga akhir 2027, Dewan Perdamaian akan mengelola bantuan harian dan reformasi, sementara ISF fokus pada keamanan jalanan dan demiliterisasi. Jika berhasil, ini bisa menjadi model untuk konflik lain seperti Lebanon atau Yaman. Namun, kegagalan — akibat veto Israel atau penolakan Hamas — berisiko memicu eskalasi baru.
Bagi masyarakat Gaza, yang telah menderita dua tahun perang, resolusi ini membawa secercah harapan: jalan menuju stabilitas dan mungkin, suatu hari, kedaulatan. Seperti kata Duta Besar AS Mike Waltz, “Ini langkah menuju Gaza yang sejahtera, di mana Israel hidup aman”. Tapi, seperti banyak resolusi PBB sebelumnya, implementasi akan menjadi ujian sejati perdamaian.









