JAKARTA, koranmetro.com – Pada awal April 2025, pihak berwenang Singapura menangkap dua remaja atas dugaan keterlibatan mereka dengan kelompok teroris ISIS. Penangkapan ini menjadi sorotan karena melibatkan seorang perempuan berusia 15 tahun dan seorang laki-laki berusia 17 tahun, yang ditahan berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act/ISA). Kasus ini menambah daftar ancaman radikalisme yang terus dipantau ketat oleh negara kota tersebut.
Berdasarkan informasi dari Departemen Keamanan Dalam Negeri Singapura, remaja laki-laki berusia 17 tahun diduga teradikalisasi setelah menjalin komunikasi daring dengan individu yang terkait ekstremisme. Ia bahkan diketahui berencana melakukan serangan terhadap tempat ibadah, termasuk masjid, dengan motif yang dipengaruhi paham radikal. Sementara itu, remaja perempuan berusia 15 tahun menjadi pendukung setia ISIS setelah menikah secara daring dengan seorang militan di Suriah. Ia aktif menyebarkan propaganda melalui media sosial dan menjalin hubungan dengan jaringan pendukung ISIS di luar negeri.
Pengalaman menunjukkan bahwa radikalisasi daring menjadi ancaman serius di era digital. Saya pernah membaca laporan tentang bagaimana anak muda rentan terpapar konten ekstremis melalui platform sosial, dan kasus ini memperkuat fakta tersebut. Menurut para ahli keamanan, paparan materi radikal sejak usia dini, seperti yang dialami kedua remaja ini, sering kali dimulai dari rasa ingin tahu yang kemudian berkembang menjadi keyakinan ekstrem.
Pemerintah Singapura menegaskan komitmennya untuk menindak tegas segala bentuk radikalisme. Penangkapan ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat untuk lebih waspada terhadap aktivitas daring anak-anak mereka. Dengan pendekatan preventif dan penegakan hukum yang ketat, Singapura terus berupaya menjaga stabilitas di tengah ancaman global seperti ISIS.