JAKARTA, koranmetro.com – Rusia dan Belarus baru-baru ini menggelar latihan militer gabungan besar bernama Zapad-2025 yang termasuk simulasi penggunaan senjata nuklir taktis, memicu kepanikan di kalangan negara anggota NATO. Latihan yang berlangsung pertengahan September digambarkan oleh otoritas Minsk dan Moskow sebagai upaya untuk melatih kesiapsiagaan menghadapi ancaman di perbatasan barat, namun bagi banyak negara NATO langkah ini dianggap eskalasi provokatif yang mengangkat risiko keamanan regional.
Beberapa negara front-line NATO merespons dengan peningkatan kesiagaan: Polandia menutup beberapa pos perbatasan dengan Belarus dan memperketat patroli sementara sekutu meningkatkan pengamatan intelijen dan patroli udara. Kekhawatiran bertambah setelah insiden drone dan ketegangan sebelumnya di wilayah perbatasan mendorong aliansi untuk menilai ulang postur pertahanan di Eropa timur. Pengamat memandang latihan ini sebagai pesan kekuatan Rusia kepada Barat sekaligus tes kemampuan logistik dan komando di wilayah yang berdekatan langsung dengan negara-negara NATO.
Menariknya, Amerika Serikat mengirim observator militer untuk menyaksikan beberapa bagian latihan—langkah yang dibaca sebagian analis sebagai upaya menjaga jalur komunikasi tetap terbuka demi meredam risiko salah tafsir. Namun kehadiran pengamat tidak meredakan kekhawatiran bahwa latihan yang menampilkan skenario nuklir bisa menormalisasi penggunaan opsi nuklir taktis dalam doktrin perang regional. Para pakar keamanan menilai normalisasi semacam itu meningkatkan kemungkinan salah hitung dalam krisis nyata.
Pernyataan resmi dari Minsk dan Moskow menegaskan bahwa latihan bersifat defensif dan transparan, sementara para pemimpin NATO menuntut klarifikasi dan peningkatan dialog untuk mencegah eskalasi. Di lapangan, konsekuensi nyata segera tampak: negara-negara Eropa timur mempercepat koordinasi pertahanan, dan publik internasional semakin waspada terhadap potensi dampak latihan militer semacam ini terhadap stabilitas regional. Di tengah dinamika itu, analis menekankan perlunya kombinasi deterrence—untuk menahan agresi—dengan saluran diplomasi yang tetap terbuka agar risiko konflik yang tidak disengaja dapat diminimalkan.