JAKARTA, koranmetro.com – Di tengah upaya pemerintah untuk memperkuat infrastruktur kesehatan melalui program prioritas, sebuah kasus korupsi yang menggemparkan kembali mengguncang publik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini mendalami dugaan penyimpangan dana sebesar Rp4,5 triliun yang dialokasikan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk pembangunan dan peningkatan 32 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di seluruh Indonesia. Fokus utama penyidikan tertuju pada proyek RSUD Kolaka Timur di Sulawesi Tenggara, yang menjadi pintu masuk bagi penyelidikan lebih luas terhadap 31 RSUD lainnya.
Kasus ini bukan hanya soal satu proyek gagal, tapi potensi kerugian negara yang masif dan dampaknya terhadap akses layanan kesehatan masyarakat miskin di daerah terpencil. Dengan alokasi dana yang seharusnya menyelamatkan nyawa, malah dikorupsi oleh oknum pejabat dan pengusaha. Apa yang sebenarnya terjadi?
Latar Belakang Program: Harapan Besar yang Terancam Korupsi
Program peningkatan kualitas RSUD ini merupakan bagian dari “Program Hasil Terbaik Cepat Prabowo-Gibran”, yang diluncurkan Kemenkes untuk mengubah RSUD kelas D menjadi kelas C. Pada 2025, Kemenkes mengucurkan Rp4,5 triliun untuk mendukung 12 RSUD menggunakan dana langsung dari kementerian dan 20 RSUD lain melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan. Tujuannya mulia: meningkatkan fasilitas medis di daerah-daerah yang selama ini kekurangan, sehingga rakyat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan standar tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.
Namun, proyek RSUD Kolaka Timur menjadi titik lemah. Awalnya dianggarkan Rp47,6 miliar dari DAK, anggarannya melonjak menjadi Rp170,3 miliar setelah intervensi oknum. Kenaikan ini seharusnya membawa kemajuan, tapi justru menjadi lahan subur bagi praktik suap dan mark-up proyek. KPK menduga pola serupa terjadi di 31 RSUD lain, yang jika terbukti, bisa merugikan negara hingga miliaran rupiah dan menunda pembangunan infrastruktur kesehatan nasional.
Kronologi Kasus: Dari OTT hingga Tersangka Bertambah
Semuanya bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 9 Agustus 2025 di Kolaka Timur. Dalam aksi kilat itu, KPK mengamankan lima orang tersangka awal yang diduga terlibat dalam penerimaan suap untuk memuluskan proyek. Mereka adalah:
- Abdul Azis (ABZ): Bupati Kolaka Timur periode 2024–2029, yang diduga sebagai koordinator utama.
- Andi Lukman Hakim (ALH): Penanggung jawab dari Kemenkes untuk pembangunan RSUD.
- Ageng Dermanto (AGD): Pejabat pembuat komitmen proyek di Kolaka Timur.
- Deddy Karnady (DK) dan Arif Rahman (AR): Pegawai PT Pilar Cadas Putra, kontraktor proyek.
Penyelidikan berlanjut, dan pada 6 November 2025, KPK mengumumkan tiga tersangka baru, meski identitasnya baru dirilis pada 24 November 2025. Ketiganya langsung ditahan selama 20 hari untuk pemeriksaan mendalam. Tersangka tambahan ini meliputi:
- Yasin (YSN): Aparatur Sipil Negara (ASN) di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sulawesi Tenggara, orang kepercayaan Bupati Azis.
- Hendrik Permana (HP): Ketua Tim Kerja Sarana Prasarana Alat Laboratorium Kesehatan Masyarakat Kemenkes.
- Aswin Griksa (AGR): Direktur Utama PT Griksa Cipta, perusahaan yang terlibat dalam desain dan pengadaan.
Modus operandi tersangka terungkap secara bertahap. Pada Agustus 2024, HP bertemu AGD untuk membahas desain RSUD, yang memicu kenaikan anggaran DAK. Sebagai “biaya komitmen” 2%, YSN menerima Rp50 juta awal dari DK melalui AGD. Antara Maret-Agustus 2025, aliran dana mencapai Rp3,3 miliar dari DK ke YSN, yang kemudian disalurkan Rp1,5 miliar ke HP. Total kerugian negara dari tiga tersangka baru saja mencapai Rp3,715 miliar, dan KPK masih mendalami aliran dana lebih lanjut.
Dampak dan Risiko: Lebih dari Sekadar Uang, Ini Soal Nyawa
Korupsi di proyek RSUD bukan hanya mencuri uang rakyat, tapi juga menunda peningkatan layanan kesehatan di daerah rawan. Bayangkan: RSUD Kolaka Timur yang seharusnya sudah beroperasi penuh kini terkatung-katung karena dana disalahgunakan. Jika pola ini menyebar ke 31 RSUD lain, ribuan pasien di pelosok Indonesia bisa kehilangan akses darurat, operasi, atau perawatan intensif.
Lebih parah lagi, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa penyidikan dilakukan “bottom up” – mulai dari pegawai rendah hingga naik ke level atas, termasuk potensi panggilan untuk Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. “Kami fokus dari penerima suap dulu, baru naik ke direktur jenderal dan seterusnya,” ujar Asep, menandakan jaringan korupsi ini mungkin melibatkan birokrasi tinggi di Kemenkes.
Respons KPK dan Harapan ke Depan
KPK tidak tinggal diam. Selain penahanan tersangka, tim penyidik sedang menggali bukti digital, saksi kunci, dan aliran dana ke rekening pihak ketiga. Asep menekankan, “Kami menduga tidak hanya di Kolaka Timur; 31 RSUD lain juga perlu didalami karena ini proyek pusat dari Kemenkes.” Langkah ini krusial untuk mencegah efek domino di program kesehatan nasional.
Sementara itu, Kemenkes diharapkan lebih transparan dalam pengawasan DAK. Menteri Budi Gunadi, jika dipanggil, bisa memberikan keterangan vital tentang proses alokasi dana. Publik pun menuntut audit independen untuk seluruh 32 proyek, agar anggaran Rp4,5 triliun benar-benar sampai ke fasilitas medis, bukan kantong koruptor.
Kasus korupsi 31 RSUD ini adalah pengingat pahit bahwa program prioritas pemerintah rentan disusupi mafia birokrasi. Kerugian finansial Rp3,7 miliar hanyalah puncak gunung es; yang lebih menyedihkan adalah kehilangan kepercayaan publik terhadap upaya perbaikan kesehatan. KPK punya peran besar untuk membongkar jaringan ini, tapi butuh dukungan dari semua pihak – mulai dari pemerintah hingga masyarakat – untuk memastikan proyek seperti ini tak lagi jadi “ladang emas” korupsi.
Jika tidak, mimpi RSUD berkualitas di setiap kabupaten akan sirna, dan rakyat yang paling membutuhkan justru yang paling menderita. Saatnya bertindak: transparansi, akuntabilitas, dan hukuman tegas. Karena kesehatan bukan komoditas untuk diperdagangkan, tapi hak dasar yang harus dilindungi.









