JAKARTA, koranmetro.com – Shadow banning adalah praktik yang makin sering dibicarakan di era media sosial modern. Tanpa pemberitahuan langsung, akun pengguna dibatasi jangkauannya sehingga konten mereka tidak muncul di beranda atau hasil pencarian, meskipun akun tidak secara resmi diblokir. Ini berbeda dengan pemblokiran biasa, karena pengguna sering kali tidak sadar bahwa mereka “dihilangkan” dari percakapan publik.
Sebagai pengamat digital dan analis algoritma platform, saya melihat shadow banning sebagai isu penting yang menyangkut transparansi. Beberapa pengguna merasa kebebasan berekspresinya dibungkam tanpa alasan yang jelas. Hal ini terjadi di berbagai platform, mulai dari Instagram, Twitter (X), hingga TikTok.
Shadow banning biasanya terjadi jika suatu akun dianggap melanggar pedoman komunitas, menyebarkan konten sensitif, atau menggunakan teknik manipulatif seperti hashtag spam. Namun sayangnya, algoritma tidak selalu akurat dan bisa berdampak pada pengguna yang sebenarnya tidak bersalah.
Dampaknya bisa signifikan, terutama bagi kreator konten, jurnalis independen, atau UMKM yang bergantung pada visibilitas online. Tanpa peringatan atau penjelasan, akun mereka tiba-tiba kehilangan jangkauan dan interaksi, sehingga memengaruhi pendapatan serta reputasi digital.
Pengguna disarankan untuk membaca kebijakan platform secara cermat, menghindari konten bermasalah, dan memantau performa akun secara rutin. Jika menduga terkena shadow ban, beberapa solusi termasuk rebranding akun, menghubungi dukungan platform, atau beralih ke kanal komunikasi yang lebih terbuka seperti blog pribadi atau newsletter.
Fenomena ini menegaskan pentingnya perlindungan hak digital dan transparansi algoritma, terutama dalam era di mana media sosial menjadi bagian penting dari kehidupan dan penghidupan.