JAKARTA, koranmetro.com – Pada akhir April 2025, dunia internasional dihebohkan dengan pernyataan Presiden sementara Suriah, Ahmad al-Sharaa, yang menyatakan ketertarikannya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan dengan anggota Kongres AS, Cory Mills, di Damaskus. Menurut Mills, al-Sharaa menyatakan bahwa Suriah siap menjalin hubungan dengan Israel “di bawah kondisi yang tepat.
Langkah ini dianggap sebagai perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Suriah, mengingat negara tersebut telah lama menjadi salah satu penentang utama Israel di kawasan Timur Tengah. Al-Sharaa bahkan menyebutkan kemungkinan Suriah bergabung dengan Abraham Accords, serangkaian kesepakatan normalisasi yang sebelumnya dirintis oleh pemerintahan Donald Trump antara Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko .
Namun, al-Sharaa menegaskan bahwa normalisasi hubungan dengan Israel harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya adalah pembahasan status Dataran Tinggi Golan, yang telah diduduki Israel sejak 1967, serta penarikan pasukan asing dari wilayah Suriah. Selain itu, Suriah juga berkomitmen untuk tidak menjadi ancaman bagi Israel dan siap mengatasi masalah keamanan yang menjadi perhatian Amerika Serikat dan Israel .
Pernyataan al-Sharaa ini mendapat respons beragam dari berbagai pihak. Beberapa negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords menyambut positif langkah Suriah ini, berharap dapat memperluas jangkauan perdamaian di kawasan. Namun, kelompok-kelompok pro-Palestina mengkritik langkah Suriah, menilai bahwa normalisasi dengan Israel dapat mengkhianati perjuangan Palestina .
Sementara itu, Israel tetap berhati-hati dalam menanggapi tawaran Suriah. Pemerintah Israel menyatakan bahwa mereka akan menilai langkah Suriah berdasarkan tindakan konkret yang diambil oleh pemerintah baru di Damaskus, terutama terkait dengan keamanan dan stabilitas kawasan .
Normalisasi hubungan antara Suriah dan Israel, meskipun masih dalam tahap awal, menunjukkan adanya perubahan dinamika politik di Timur Tengah. Langkah ini dapat membuka peluang baru bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan, namun juga menghadirkan tantangan dan kontroversi yang perlu dihadapi dengan hati-hati oleh semua pihak terkait.