JAKARTA, koranmetro.com – Turki telah mengambil langkah tegas dalam merespons konflik di Gaza dengan memutus hampir semua hubungan bisnis dan ekonomi dengan Israel. Dalam satu langkah diplomatik yang dramatis, Turki secara resmi menutup akses wilayah udaranya bagi pesawat Israel, terutama yang membawa kargo militer atau senjata, serta menghentikan aktivitas kapal Israel di pelabuhannya. Respons ini merupakan eskalasi dari penghentian seluruh perdagangan langsung sejak Mei 2024, ketika Ankara menuntut gencatan senjata permanen dan akses bebas bagi bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Menurut Menteri Luar Negeri Hakan Fidan, Turki kini telah melarang masuknya kapal pengangkut senjata maupun pesawat ke wilayahnya, sekaligus melarang kapal Turki ke pelabuhan Israel. Sebelumnya, Turki juga sudah membatasi ekspor barang penting seperti aluminium, baja, pupuk dan bahan bangunan sejak April 2024.
Langkah ini bukan sekadar simbol belaka; pada 2023, nilai perdagangan antara kedua negara mencapai hampir US$7 miliar. Data menunjukkan turunnya ekspor Turki ke Israel hingga hampir 99% setelah keputusan penghentian perdagangan dibuat. Praktis, relasi ekonomi antarnegara yang sempat menghangat pasca normalisasi—termasuk kesepakatan perdagangan bebas pada 1997—kini terhenti total.
Secara strategis, penutupan wilayah udara dan pelabuhan menggambarkan keinginan Turki untuk menekan Israel secara diplomatik sekaligus mendesak internasional untuk mengambil sikap lebih tegas. Presiden Erdogan bahkan menyamakan tindakan Israel sebagai tindakan genosida, dan menolak fasilitas diplomatik seperti akses udara kepada pejabat tinggi Israel, termasuk Presiden Isaac Herzog pada.
Dengan demikian, kebijakan ini menunjukkan bagaimana Turki menggunakan instrumen ekonomi dan infrastruktur—seperti pelabuhan dan wilayah udara—untuk menyampaikan protes keras terhadap Israel. Bagi Turki, ini bukan sekadar boikot; melainkan bentuk tanggung jawab moral, kemanusiaan, dan nyatalah sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina.