JAKARTA, koranmetro.com – Beberapa anggota DPR RI, termasuk Ahmad Sahroni, Surya Utama (Uya Kuya), Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Nafa Urbach, dan Adies Kadir, telah dinonaktifkan oleh partai politik masing-masing menyusul kontroversi yang memicu kemarahan publik. Penonaktifan ini merupakan respons terhadap pernyataan dan tindakan mereka yang dianggap tidak sejalan dengan aspirasi rakyat, seperti pernyataan kontroversial Sahroni yang menyebut usulan pembubaran DPR sebagai tindakan “tolol,” atau aksi joget Eko Patrio dan Uya Kuya yang dinilai tidak empati di tengah situasi sensitif.
Keputusan ini diumumkan oleh partai masing-masing, seperti Partai NasDem untuk Sahroni dan Nafa Urbach, Partai Amanat Nasional (PAN) untuk Eko Patrio dan Uya Kuya, serta Partai Golkar untuk Adies Kadir, efektif per 1 September 2025.
Dampak Finansial: Kehilangan Gaji dan Tunjangan
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partainya tidak lagi menerima hak keuangan, termasuk gaji pokok dan berbagai tunjangan. “Anggota DPR RI yang telah dinonaktifkan oleh partai politiknya tidak dibayarkan hak-hak keuangannya,” ujar Dasco dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 5 September 2025.
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR juga telah mengirim surat kepada Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR untuk menghentikan pembayaran gaji dan tunjangan bagi anggota yang dinonaktifkan. Menurut Ketua MKD, Nazaruddin Dek Gam, langkah ini merupakan bagian dari tindakan tegas untuk menanggapi situasi tersebut.
Sebelumnya, anggota DPR menerima gaji pokok sebesar Rp4.200.000 per bulan, ditambah berbagai tunjangan seperti tunjangan istri/suami (Rp420.000), tunjangan anak (Rp168.000), tunjangan jabatan (Rp9.700.000), tunjangan beras (Rp289.680), uang sidang (Rp2.000.000), serta tunjangan komunikasi (Rp20.033.000) dan tunjangan kehormatan (Rp7.187.000). Total pendapatan bulanan sebelum pemangkasan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Namun, pasca-penonaktifan, fasilitas ini telah dicabut untuk anggota yang bersangkutan.
Status Nonaktif dan Ketidakjelasan Hukum
Meskipun dinonaktifkan, status anggota DPR ini masih menimbulkan tanda tanya. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah, menjelaskan bahwa istilah “nonaktif” tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Secara hukum, anggota DPR tetap berstatus aktif hingga ada pergantian antar waktu (PAW) yang disetujui melalui Rapat Paripurna.
Karena belum ada keputusan PAW, pada awal September 2025, anggota seperti Sahroni dan Uya Kuya dilaporkan masih menerima gaji dan tunjangan. Namun, setelah tekanan publik dan koordinasi antara MKD dan Setjen DPR, hak keuangan mereka akhirnya dihentikan.
Respons Publik dan Tuntutan Reformasi
Penonaktifan ini merupakan bagian dari respons DPR terhadap gelombang demonstrasi besar-besaran yang dikenal sebagai “17+8 Tuntutan Rakyat.” Masyarakat mengkritik gaji dan tunjangan anggota DPR yang dianggap tidak seimbang dengan kinerja mereka, terutama di tengah isu-isu sosial dan ekonomi yang mendesak. Demonstrasi ini memaksa DPR memangkas sejumlah tunjangan yang sebelumnya mencapai ratusan juta rupiah per anggota.
Meski demikian, publik masih mempertanyakan efektivitas penonaktifan ini, terutama karena kurangnya kejelasan mengenai status hukum anggota yang bersangkutan. Beberapa pihak menilai bahwa penonaktifan hanyalah “akal-akalan” untuk meredam kritik tanpa memberhentikan anggota secara permanen.
Langkah ke Depan
Pimpinan DPR telah meminta MKD untuk berkoordinasi dengan mahkamah partai politik masing-masing guna menentukan langkah lanjutan, termasuk kemungkinan PAW. Proses ini masih berlangsung, dengan MKD terus melakukan pendalaman terhadap anggota yang dinonaktifkan.
Keputusan ini menjadi sorotan karena mencerminkan upaya DPR untuk menanggapi tekanan publik sekaligus mempertahankan integritas institusi. Namun, tantangan etika dan transparansi tetap menjadi fokus utama, dengan masyarakat menuntut reformasi yang lebih substansial dalam sistem remunerasi dan akuntabilitas anggota DPR.
Penonaktifan Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan anggota DPR lainnya menandai langkah tegas partai politik dalam merespons kekecewaan publik. Meski awalnya mereka masih menerima gaji karena ketidakjelasan status “nonaktif,” keputusan DPR untuk menghentikan hak keuangan menunjukkan komitmen untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Ke depan, kejelasan hukum dan proses PAW akan menjadi kunci untuk memastikan akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap DPR.