JAKARTA, koranmetro.com – Sebuah peristiwa tragis terjadi di Kampung Kwantapo, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan. Dua pekerja bangunan, Rahmat Hidayat (45) dan Saepudin (39), warga asal Purwakarta, Jawa Barat, tewas ditembak oleh kelompok bersenjata yang diklaim sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pimpinan Egianus Kogoya. Kejadian ini terjadi saat kedua korban sedang mengerjakan pembangunan Gereja GKI Imanuel Air Garam, sebuah proyek yang dimaksudkan untuk memperkuat sarana ibadah masyarakat setempat.
Kronologi Kejadian
Penembakan terjadi sekitar pukul 08.30 WIT, ketika Rahmat dan Saepudin sedang mengecat bangunan gereja. Dua pria bersenjata tiba-tiba melintas dan menembaki kedua pekerja tersebut. Rahmat mengalami luka tembak di kepala yang menembus mata kiri, sementara Saepudin tertembak di ketiak kiri hingga mengenai lengan. Meski sempat berusaha melarikan diri, kedua korban dikejar dan dieksekusi di tempat. Jenazah mereka kemudian dievakuasi ke RSUD Wamena oleh tim gabungan dari Polres Jayawijaya dan Satgas Gakkum Operasi Damai Cartenz.
Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menyatakan bahwa aksi ini dilakukan oleh pasukan Kodap III Ndugama Derakma setelah melakukan pengintaian selama beberapa hari. Kelompok ini menganggap pekerja non-Papua, termasuk tukang bangunan, sebagai “mata-mata” militer Indonesia, meskipun tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut. Sambom juga mengeluarkan ancaman kepada warga sipil, baik asli Papua maupun pendatang, untuk menghentikan aktivitas kerja di wilayah yang mereka sebut sebagai “area perang.”
Kecaman dari Berbagai Pihak
Peristiwa ini memicu kecaman keras dari berbagai kalangan. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyebut aksi ini sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan menyerukan investigasi mendalam oleh Komnas HAM bersama pemerintah dan gereja. Sekretaris Umum PGI, Pendeta Darwin Darmawan, menegaskan bahwa penembakan ini tidak hanya menghilangkan nyawa, tetapi juga mencederai nilai kemanusiaan dan spiritualitas masyarakat Papua.
Ketua Klasis Baliem Yalimo, Pendeta Eduard Su, menyatakan bahwa serangan terhadap gereja bukan hanya kekerasan terhadap manusia, tetapi juga penghinaan terhadap tempat suci. Ia menekankan bahwa gereja adalah simbol kedamaian, bukan medan konflik, dan mengecam tindakan OPM sebagai tindakan yang melampaui batas kemanusiaan.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, juga mengecam aksi ini sebagai tindakan biadab yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa TNI dan aparat keamanan akan terus mengejar pelaku dan meningkatkan pengamanan untuk melindungi warga sipil serta mendukung pembangunan di Papua.
Dampak dan Respons Masyarakat
Seorang warga asli Papua, Markus Murib, yang selamat dari insiden tersebut, menyampaikan keprihatinannya. Ia menyaksikan kekejaman penembakan dan merasa bahwa masyarakat sipil menjadi korban konflik yang tidak mereka inginkan. Murib menegaskan bahwa gereja adalah tempat ibadah bagi masyarakat Papua, dan menyerangnya adalah tindakan yang tidak dapat dikatakan.
Jenazah kedua korban telah dipulangkan ke Purwakarta pada tanggal 5 Juni 2025 menggunakan penerbangan Trigana Air dan Garuda Indonesia. Sementara itu, aparat gabungan TNI-Polri terus melakukan penyisiran di wilayah Distrik Asotipo untuk mengejar pelaku yang melarikan diri ke pegunungan.
Latar Belakang Konflik
Aksi kekerasan oleh kelompok bersenjata di Papua, termasuk TPNPB-OPM, telah berlangsung selama beberapa dekade, sering kali menargetkan warga sipil, aparat keamanan, dan infrastruktur publik. Penembakan ini menambah daftar panjang insiden serupa, seperti pembunuhan dua tukang ojek di Puncak pada November 2024 dan pembakaran sekolah di wilayah yang sama. Kelompok ini kerap menggunakan narasi perjuangan kemerdekaan untuk membenarkan tindakan mereka, meskipun sering kali menimbulkan penderitaan bagi masyarakat sipil, termasuk warga asli Papua.
PGI dan tokoh masyarakat menyerukan dialog damai sebagai solusi untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Papua. Mereka menekankan pentingnya menomorsatukan nilai kemanusiaan dan keadilan untuk menciptakan kedamaian yang berkelanjutan.
Tragedi penembakan dua pekerja gereja di Jayawijaya adalah pengingat pahit akan kompleksitas konflik di Papua. Tindakan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata, terutama di tempat ibadah, tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga merusak harapan akan kedamaian. Sementara aparat keamanan berupaya mengejar pelaku, seruan untuk dialog damai dan penyelesaian konflik secara manusiawi semakin mendesak. Masyarakat Papua, baik asli maupun pendatang, berhak hidup dalam damai tanpa bayang-bayang kekerasan.