koranmetro.com – Konflik antara Israel dan Iran yang kembali memanas pada Juni 2025, ditandai dengan serangan udara Israel bertajuk “Rising Lion” terhadap fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni 2025, telah memicu kekhawatiran global akan eskalasi perang di Timur Tengah. Serangan ini, yang menewaskan sedikitnya 78 orang di Iran, termasuk petinggi militer dan ilmuwan nuklir, direspons Iran dengan meluncurkan lebih dari 100 rudal ke Jerusalem dan Tel Aviv dalam operasi “True Promise 3”. Di tengah ketegangan ini, Indonesia, dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, tampil sebagai suara etik yang menyerukan perdamaian, mengecam kekerasan, dan mendorong penyelesaian konflik melalui dialog. Artikel ini akan mengupas peran Indonesia dalam krisis Israel-Iran, dampak konflik terhadap Indonesia, serta bagaimana diplomasi Indonesia mencerminkan nilai-nilai etik dalam menjaga stabilitas global.
Latar Belakang Konflik Israel-Iran
Konflik Israel-Iran bukanlah hal baru, melainkan bagian dari persaingan geopolitik yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Ketegangan meningkat sejak Revolusi Islam Iran pada 1979, yang mengubah Iran menjadi negara yang menentang keberadaan Israel, menyebutnya sebagai “tumor kanker” yang harus dihapus. Israel, di sisi lain, memandang Iran sebagai ancaman eksistensial, terutama karena program nuklir Iran dan dukungannya terhadap kelompok proksi seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza.
Pada 13 Juni 2025, Israel melancarkan serangan udara masif ke fasilitas nuklir Iran, termasuk di Teheran dan Natanz, menewaskan tokoh kunci seperti Komandan Garda Revolusi Iran Hossein Salami dan enam ilmuwan nuklir. Iran membalas dengan serangan rudal ke Israel, menyebabkan kerusakan di Tel Aviv dan korban jiwa. Ketegangan ini memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan minyak global, terutama karena Iran mengancam menutup Selat Hormuz, jalur perdagangan minyak yang mengangkut 20% pasokan minyak dunia.
Suara Etik Indonesia: Prinsip Bebas Aktif
Indonesia, sebagai negara dengan tradisi politik luar negeri bebas aktif yang digagas oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, secara konsisten menyerukan perdamaian dan menentang segala bentuk kekerasan. Dalam krisis Israel-Iran, Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan tegas mengutuk serangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni 2025, menyebutnya sebagai pelanggaran hukum internasional yang melemahkan stabilitas global. Pernyataan ini menegaskan bahwa tindakan militer hanya akan memperburuk ketegangan dan berpotensi memicu konflik yang lebih luas.
Indonesia juga menyerukan semua pihak untuk menahan diri dan menyelesaikan konflik melalui dialog dan diplomasi, sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sikap ini mencerminkan komitmen Indonesia terhadap penghormatan hukum internasional dan hak asasi manusia (HAM), yang menjadi landasan kebijakan luar negerinya. Melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan forum internasional lainnya, Indonesia mendorong inisiatif perdamaian untuk menjaga stabilitas di Timur Tengah, kawasan yang kritis bagi pasokan energi global dan keberadaan pekerja migran Indonesia.
Peran Diplomasi Indonesia
Indonesia telah menunjukkan peran strategis dalam diplomasi global, terutama dalam krisis Timur Tengah. Pada 12 Juni 2025, sehari sebelum eskalasi konflik, Presiden Prabowo Subianto mengadakan percakapan telepon selama 15 menit dengan Presiden AS Donald Trump. Dialog ini menunjukkan pengakuan dunia terhadap kredibilitas Indonesia sebagai penyeimbang dalam konflik global. Percakapan ini menggarisbawahi peran Indonesia sebagai suara bijak yang mampu memediasi ketegangan, sejalan dengan semangat bebas aktif yang tidak memihak pada kekuatan besar mana pun.
Anggota Komisi I DPR RI, Christina Aryani, menegaskan bahwa Indonesia mengecam segala bentuk kekerasan dan mendorong PBB untuk mengadakan pertemuan darurat guna menemukan solusi konkret. Indonesia juga aktif di OKI, mengusulkan inisiatif untuk meredakan ketegangan dan mendukung penyelesaian konflik yang menghormati kedaulatan negara. Sikap ini tidak hanya mencerminkan prinsip etik Indonesia, tetapi juga kepentingan nasional, mengingat Timur Tengah adalah pusat produksi minyak dan rumah bagi jutaan pekerja migran Indonesia.
Dampak Konflik terhadap Indonesia
Konflik Israel-Iran memiliki dampak signifikan bagi Indonesia, terutama di bidang ekonomi dan energi. Berikut adalah beberapa dampak utama:
-
Kenaikan Harga Minyak Dunia
Iran adalah produsen minyak terbesar ke-9 dunia, dengan produksi 2,55 juta barel per hari pada 2022, menyumbang 3,5% dari total produksi global. Ancaman penutupan Selat Hormuz dapat mengganggu 20% pasokan minyak dunia, menyebabkan harga minyak Brent melonjak 13% ke US$78,50 per barel pada 13 Juni 2025, level tertinggi sejak Januari 2025. Sebagai negara importir minyak, Indonesia berisiko menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang dapat memicu inflasi dan meningkatkan biaya produksi di sektor industri. -
Depresiasi Rupiah
Ketidakpastian geopolitik telah melemahkan nilai tukar rupiah, yang tembus Rp16.000 per dolar AS pada Juni 2025. Kenaikan harga BBM non-subsidi, listrik, dan gas dapat memperburuk tekanan inflasi, memengaruhi daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional. -
Sektor Keuangan dan Investasi
Eskalasi konflik memicu ketidakpastian di pasar keuangan global, menyebabkan penurunan indeks saham seperti Dow Jones (-1,79%), S&P 500 (-1,13%), dan Nikkei 225 (-0,89%) pada 13 Juni 2025. Investor cenderung menghindari risiko, yang dapat mengurangi aliran investasi ke Indonesia dan memengaruhi sektor seperti farmasi, tekstil, dan infrastruktur. -
Pekerja Migran Indonesia
Timur Tengah adalah tujuan utama pekerja migran Indonesia. Konflik yang meluas dapat memperburuk krisis kemanusiaan, meningkatkan risiko bagi keselamatan pekerja migran, dan mempersulit evakuasi. Indonesia perlu memperkuat koordinasi dengan kedutaan dan organisasi internasional untuk melindungi warganya.
Strategi Indonesia dalam Menghadapi Krisis
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi dampak konflik, sekaligus mempertahankan suara etiknya di panggung global:
-
Diplomasi Multilateral
Indonesia mendorong solusi damai melalui PBB dan OKI, menyerukan gencatan senjata dan dialog antara Israel dan Iran. Indonesia juga mendukung pertemuan darurat PBB untuk mencari solusi jangka pendek dan mencegah eskalasi lebih lanjut. -
Mitigasi Ekonomi
Untuk meredam dampak kenaikan harga minyak, pemerintah memantau pasokan energi dan mempertimbangkan revisi anggaran subsidi energi. Diversifikasi impor minyak dari negara seperti Singapura (56%) dan Malaysia (26,75%) membantu mengurangi ketergantungan pada Timur Tengah. Pemerintah juga mendorong transisi ke kendaraan listrik dan transportasi publik untuk mengurangi konsumsi BBM dalam jangka panjang. -
Penguatan Ketahanan Energi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meningkatkan produksi migas nasional di Blok Cepu, Rokan, dan Buton untuk mengurangi dampak gangguan pasokan global. Stok minyak nasional juga digunakan sebagai penyangga jangka pendek. -
Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia memperkuat koordinasi dengan kedutaan di Timur Tengah untuk memastikan keselamatan pekerja migran dan menyiapkan rencana evakuasi jika diperlukan.
Tantangan dan Peluang
Meskipun Indonesia memiliki posisi strategis sebagai penyeimbang dalam konflik global, ada beberapa tantangan yang dihadapi:
-
Keterbatasan Pengaruh: Sebagai negara non-blok, Indonesia harus bersaing dengan kekuatan besar seperti AS, Rusia, dan Tiongkok dalam memengaruhi dinamika Timur Tengah.
-
Tekanan Ekonomi: Kenaikan harga minyak dan inflasi dapat memperburuk defisit fiskal, terutama jika subsidi energi membengkak.
-
Sentimen Publik: Dukungan kuat Indonesia terhadap Palestina, yang juga menjadi akar konflik Iran-Israel, dapat memengaruhi sentimen domestik dan memerlukan komunikasi publik yang hati-hati.
Namun, krisis ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat peran diplomatiknya. Dengan memanfaatkan posisinya di OKI dan hubungan baik dengan negara-negara seperti Turki dan Mesir, Indonesia dapat memimpin inisiatif perdamaian dan meningkatkan pengaruhnya di panggung global.
Di tengah krisis Israel-Iran, Indonesia menunjukkan suara etik yang konsisten dengan mengecam kekerasan, mendorong dialog, dan mengutamakan perdamaian. Dengan prinsip bebas aktif, Indonesia tidak hanya melindungi kepentingan nasional seperti stabilitas ekonomi dan keselamatan pekerja migran, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas global melalui diplomasi multilateral. Meskipun menghadapi tantangan seperti kenaikan harga minyak dan ketidakpastian geopolitik, Indonesia memiliki peluang untuk memperkuat posisinya sebagai penyeimbang di dunia yang penuh konflik. Dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat dan komitmen terhadap hukum internasional, Indonesia dapat terus menjadi suara moral yang relevan di tengah krisis Timur Tengah, menjaga keseimbangan antara etika dan kepentingan nasional.