Kebijakan tarif dagang agresif Trump Memicu Ketegangan Global

- Jurnalis

Minggu, 20 Juli 2025 - 20:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

koranmetro.com – Kebijakan tarif dagang agresif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2025 telah memicu gelombang ketegangan perdagangan global. Dengan mengenakan tarif tinggi kepada sejumlah negara, termasuk Kanada (35%), Brasil (50%), Uni Eropa (30%), serta mitra dagang lain seperti Jepang dan Korea Selatan, Trump berupaya mewujudkan agenda “America First” untuk mengurangi defisit perdagangan AS dan meningkatkan produksi domestik. Namun, kebijakan ini memicu respons balasan dari berbagai negara, meningkatkan risiko perang dagang, dan mengganggu stabilitas ekonomi global. Artikel ini mengulas latar belakang kebijakan tarif Trump, dampaknya terhadap hubungan internasional, reaksi negara-negara terdampak, serta implikasi ekonomi dan politiknya.

Latar Belakang Kebijakan Tarif Trump

Sejak awal masa kepresidenannya yang kedua pada Januari 2025, Trump telah memperkuat pendekatan proteksionisnya melalui kebijakan tarif yang diumumkan pada “Liberation Day” (2 April 2025). Dengan mengacu pada International Emergency Economic Powers Act (IEEPA), Trump memberlakukan tarif dasar 10% untuk semua negara, dengan tarif tambahan untuk mitra dagang utama yang dianggap merugikan AS, seperti 25% untuk Kanada dan Meksiko serta 10% untuk Tiongkok pada Februari 2025, dengan alasan keamanan nasional, termasuk penyelundupan fentanyl dan imigrasi ilegal.

Pada Juli 2025, Trump meningkatkan tarif secara signifikan, termasuk 50% untuk Brasil—dengan alasan politik seperti pengadilan terhadap mantan Presiden Jair Bolsonaro yang disebutnya sebagai “witch hunt”—dan 35% untuk Kanada karena masalah fentanyl dan defisit perdagangan. Tarif 30% untuk Uni Eropa dan Meksiko, serta 50% untuk tembaga impor, juga diumumkan, memicu kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut. Trump mengklaim tarif ini bertujuan untuk memperbaiki defisit perdagangan, melindungi industri AS, dan membawa produksi kembali ke AS (onshoring). Namun, klaim defisit perdagangan dengan Brasil terbantahkan, karena AS justru mencatat surplus perdagangan sebesar $7,4 miliar pada 2024.

Reaksi Negara-Negara Terdampak

Kebijakan tarif Trump memicu respons keras dari berbagai negara, meningkatkan ketegangan diplomatik dan ekonomi:

  1. Brasil: Presiden Luiz Inácio Lula da Silva menolak tarif 50% dan berjanji membalas dengan tarif serupa berdasarkan Economic Reciprocity Law Brasil. Lula menegaskan kedaulatan Brasil, menolak campur tangan Trump dalam urusan hukum domestik terkait Bolsonaro. Brasil juga mempertimbangkan opsi seperti menangguhkan pengakuan paten AS atau pembayaran royalti, serta memperdalam hubungan dengan negara-negara BRICS seperti Tiongkok dan India untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Tarif ini dapat menaikkan harga komoditas seperti kopi dan jus jeruk di AS, mengingat Brasil adalah eksportir utama kopi dunia.

  2. Kanada: Perdana Menteri Mark Carney menyatakan kekecewaan atas tarif 35%, terutama setelah Kanada mencabut pajak layanan digital (DST) sesuai permintaan Trump. Kanada, mitra dagang terbesar kedua AS dengan surplus perdagangan $63,3 miliar pada 2024, mengancam akan membalas dengan tarif serupa. Industri aluminium Kanada, seperti Rio Tinto, melaporkan kerugian $300 juta pada paruh pertama 2025 akibat tarif sebelumnya. Kebijakan ini juga mendorong Kanada untuk mempertimbangkan diversifikasi keamanan dan pengadaan senjata non-AS.

  3. Uni Eropa: Uni Eropa, yang menghadapi tarif 30%, sedang menegosiasikan kesepakatan perdagangan untuk menghindari dampak pada industri otomotifnya. Komisaris Perdagangan UE Maros Sefcovic menyatakan kemajuan dalam negosiasi, namun tarif ini tetap dianggap “terlarang” untuk perdagangan transatlantik. UE menyiapkan langkah balasan, termasuk tarif terhadap layanan AS, untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka.

  4. Negara Lain: Jepang, Korea Selatan, Indonesia, dan Filipina juga menerima surat tarif dengan tarif berkisar 20–40%. Jepang, di bawah Perdana Menteri Shigeru Ishiba, mulai mencari cara untuk mengurangi ketergantungan pada AS, sementara Indonesia mempercepat negosiasi perdagangan untuk menghindari tarif 32%. Tiongkok, meskipun hanya dikenakan tarif tambahan 10%, tetap menjadi target utama karena dominasinya dalam perdagangan tembaga dan mineral langka.

Baca Juga :  Elon Musk Bawa Gergaji Mesin ke Panggung saat Konferensi CPAC, Aksi Simbolik yang Mencuri Perhatian

Dampak Ekonomi

Kebijakan tarif Trump memiliki implikasi ekonomi yang luas, baik di AS maupun secara global:

  • Di Amerika Serikat: Tarif dapat meningkatkan harga barang impor seperti kopi, tembaga, dan suku cadang otomotif, memicu inflasi. Analisis Oxford Economics memperkirakan tarif efektif AS akan naik menjadi 20%, meningkatkan biaya hidup. Petani kopi Hawaii, misalnya, khawatir kenaikan harga global akan menekan permintaan, meskipun mereka bisa mendapat manfaat dari tarif terhadap Brasil. Industri tembaga AS juga terdampak, dengan perusahaan seperti Alcoa melaporkan biaya tambahan $115 juta pada Q2 2025. Namun, Direktur Dewan Ekonomi Nasional Kevin Hassett mengklaim tarif menghasilkan pendapatan $3 triliun untuk mengurangi defisit anggaran AS.

  • Global: Negara-negara seperti Brasil dan Kanada menghadapi ancaman gangguan rantai pasok dan penurunan ekspor. Pasar saham global mengalami volatilitas, dengan ekuitas dan komoditas logam terpukul keras. Tarif tem imminent juga memengaruhi harga tembaga global, yang penting untuk industri konstruksi dan teknologi. Ekonom JPMorgan menyebut ancaman tarif ini sebagai “permainan yang tak pernah berakhir,” dengan potensi gangguan perdagangan global yang signifikan.

Baca Juga :  Botswana Mencatatkan Sejarah Dengan Temukan Berlian Terbesar Kedua di Dunia, Beratnya 2.492 Karat

Dampak Politik

Secara politik, kebijakan tarif Trump memicu polarisasi:

  • Brasil: Tarif 50% justru meningkatkan popularitas Lula, yang memposisikan dirinya sebagai pembela kedaulatanBrasil. Sebaliknya, pendukung Bolsonaro seperti Eduardo Bolsonaro memuji intervensi Trump, tetapi langkah ini dapat memperburuk posisi hukum Bolsonaro dengan mengesankan intimidasi terhadap pengadilan Brasil.

  • Kanada dan UE: Ketegangan dengan Kanada dan UE mendorong diskusi tentang pengurangan ketergantungan pada AS, baik dalam perdagangan maupun keamanan. Ini dapat mempercepat integrasi regional, seperti kerja sama Amerika Selatan atau inisiatif BRICS.

  • Kontroversi Hukum: Penggunaan IEEPA oleh Trump untuk memberlakukan tarif, terutama pada Brasil, menuai kritik karena dianggap melampaui wewenang presiden. Pengadilan Perdagangan Internasional AS pada Mei 2025 memblokir sebagian tarif timbal-balik Trump, menyatakan bahwa IEEPA tidak mengizinkan tarif untuk tujuan politik murni. Kasus ini sedang dalam banding, tetapi tarif Brasil dapat melemahkan kredibilitas hukum pemerintahan Trump.

Sentimen Publik

Diskusi di platform X mencerminkan kekhawatiran global tentang dampak tarif. Pengguna seperti @Strategi_Bisnis memperingatkan bahwa tarif Trump akan mengganggu ekspor Indonesia dan memukul ekonomi Tiongkok, yang berdampak pada Indonesia. @Ben3attha memperkirakan kenaikan harga barang sebesar 2,3% di AS dan kerugian rumah tangga hingga Rp55 juta per tahun. @Reuters juga mencatat bahwa sikap keras terhadap tarif dapat lebih merugikan AS daripada UE secara ekonomi. Sentimen ini menunjukkan ketidakpastian dan kekhawatiran akan eskalasi perang dagang.

Kebijakan tarif dagang Trump pada 2025, dengan tarif tinggi terhadap Brasil, Kanada, UE, dan lainnya, telah memicu ketegangan global yang signifikan. Meskipun dimaksudkan untuk melindungi industri AS dan mengurangi defisit perdagangan, kebijakan ini memicu ancaman balasan, gangguan rantai pasok, dan potensi inflasi. Respons keras dari Lula, Carney, dan pemimpin global lainnya menunjukkan perlawanan terhadap intervensi Trump, baik dalam perdagangan maupun urusan domestik seperti kasus Bolsonaro. Dengan negosiasi yang berlangsung hingga batas waktu 1 Agustus 2025, dunia menyaksikan apakah tarif ini akan memicu perang dagang penuh atau menghasilkan kesepakatan baru. Yang jelas, kebijakan ini telah mengguncang dinamika perdagangan global, dengan implikasi jangka panjang yang masih belum pasti.

Berita Terkait

Gelombang Kemarahan Gen Z Peru, Bentrokan Brutal dengan Polisi di Lima
Rusia-Belarus Latihan Simulasi Serangan Nuklir, Negara NATO Panik
Ribuan Warga Turki Unjuk Rasa Desak Erdogan Mundur, Ada Apa?
Menteri Nepal Kabur Tinggalkan Istri yang Lumpuh, Ditolong Pedemo
Charlie Kirk, Influencer Pendukung Trump, Tewas dalam Penembakan di Acara Kampus
Ketegangan Diplomatik, Qatar dan AS Pasca-Serangan Israel di Doha
Aturan Diperketat, Singapura Sita 1.500 Vape dalam 4 Hari
China Ungkap J-20S, Inovasi Jet Siluman Dua Kursi Pertama di Dunia
Berita ini 9 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 22 September 2025 - 12:59 WIB

Gelombang Kemarahan Gen Z Peru, Bentrokan Brutal dengan Polisi di Lima

Rabu, 17 September 2025 - 19:17 WIB

Rusia-Belarus Latihan Simulasi Serangan Nuklir, Negara NATO Panik

Senin, 15 September 2025 - 16:53 WIB

Ribuan Warga Turki Unjuk Rasa Desak Erdogan Mundur, Ada Apa?

Jumat, 12 September 2025 - 19:29 WIB

Menteri Nepal Kabur Tinggalkan Istri yang Lumpuh, Ditolong Pedemo

Kamis, 11 September 2025 - 18:52 WIB

Charlie Kirk, Influencer Pendukung Trump, Tewas dalam Penembakan di Acara Kampus

Berita Terbaru

Pelatih Arsenal, Mikel Arteta, mengungkapkan rasa bangganya terhadap penampilan timnya meskipun hanya meraih hasil imbang 1-1 melawan Manchester City di Stadion Emirates pada 21 September 2025.

Liga Inggris

Arteta Sangat Bangga dengan Dominasi Arsenal atas Manchester City

Senin, 22 Sep 2025 - 19:17 WIB

Di era digital saat ini, tren workation atau traveling sambil kerja semakin populer, terutama di kalangan generasi muda dan pekerja lepas.

LIFE STYLE & ENTERTAINMENT

Fenomena Tren Traveling Sambil Kerja di Kalangan Anak Muda

Sabtu, 20 Sep 2025 - 18:38 WIB