JAKARTA, koranmetro.com – Bali, surga tropis yang dikenal dengan pantai-pantai indah dan budaya yang kaya, kini menghadapi ancaman serius dari krisis pengelolaan sampah di daerah wisata. Masalah ini tidak hanya merusak keindahan alam, tetapi juga memperparah risiko banjir di berbagai wilayah pulau dewata. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, sebagai pembuat kebijakan nasional, memiliki peran krusial dalam mengatasi isu ini. Namun, upaya mereka masih dianggap kurang tegas, sehingga krisis ini terus memburuk.
Latar Belakang Krisis Pengelolaan Sampah di Bali
Bali menerima jutaan wisatawan setiap tahunnya, yang membawa manfaat ekonomi sekaligus beban lingkungan. Menurut data Dinas Pariwisata Bali, pada tahun 2024 saja, pulau ini dikunjungi lebih dari 6 juta wisatawan asing dan domestik. Lonjakan pengunjung ini menghasilkan volume sampah yang luar biasa, terutama di daerah wisata seperti Kuta, Seminyak, dan Ubud. Sampah plastik, makanan, dan limbah rumah tangga sering kali dibuang sembarangan, mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut.
Pengelolaan sampah di Bali masih bergantung pada sistem pengumpulan manual dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang sudah overload. TPA seperti Suwung di Denpasar sering kali meluap, menyebabkan sampah berserakan dan mencemari sumber air. Krisis ini diperburuk oleh kurangnya kesadaran masyarakat dan wisatawan, serta minimnya infrastruktur modern seperti pabrik daur ulang. Akibatnya, sampah organik dan anorganik menumpuk, menghambat aliran air dan meningkatkan risiko banjir saat musim hujan.
Bagaimana Sampah Memperparah Banjir di Bali?
Daerah wisata Bali yang padat penduduk dan aktivitas sering kali mengalami banjir akibat drainase yang tersumbat oleh sampah. Sungai-sungai seperti Sungai Tukad Ayung dan Tukad Badung, yang mengalir melalui kawasan wisata, menjadi saluran utama limbah. Saat hujan deras, sampah ini membentuk penyumbatan, menyebabkan air meluap ke permukaan.
Pada Januari 2025, banjir besar melanda Denpasar dan sekitarnya, memengaruhi ribuan wisatawan dan penduduk lokal. Laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa 40% penyebab banjir adalah akibat sampah yang menyumbat saluran irigasi dan drainase. Di daerah wisata seperti Canggu, akumulasi sampah dari pesta-pesta malam hari mempercepat genangan air, merusak infrastruktur, dan mengancam ekosistem pantai. Fenomena ini bukan hanya masalah lokal, tetapi juga nasional, karena Bali adalah pintu gerbang pariwisata Indonesia.
Selain itu, perubahan iklim memperburuk situasi. Hujan ekstrem yang semakin sering terjadi di Bali membuat sampah yang tidak dikelola dengan baik menjadi pemicu utama banjir. Tanpa intervensi yang tepat, daerah wisata ini berisiko kehilangan daya tariknya, yang berdampak pada ekonomi nasional.
Peran Anggota DPR dalam Mengatasi Krisis Ini
Anggota DPR RI, khususnya dari Komisi X yang membidangi pariwisata dan lingkungan hidup, bertanggung jawab untuk merumuskan undang-undang dan anggaran yang mendukung pengelolaan sampah. Namun, kritik muncul karena kebijakan yang dihasilkan masih bersifat reaktif daripada preventif. Misalnya, Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sampah yang dibahas DPR pada 2024 belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan daerah wisata seperti Bali.
Beberapa Anggota DPR, seperti Wakil Ketua Komisi X, telah melakukan kunjungan kerja ke Bali untuk mengevaluasi kondisi TPA dan banjir. Mereka mendorong alokasi dana APBN untuk pembangunan fasilitas pengolahan sampah berbasis teknologi, seperti insinerator ramah lingkungan. Namun, implementasi di lapangan masih lambat karena birokrasi dan korupsi. DPR juga perlu mendorong regulasi yang lebih ketat terhadap wisatawan, seperti denda bagi pembuangan sampah sembarangan, serta kolaborasi dengan pemerintah daerah untuk edukasi masyarakat.
Tanpa komitmen kuat dari Anggota DPR, krisis ini akan terus berlanjut. Mereka harus memprioritaskan RUU Lingkungan Hidup yang mencakup pengelolaan sampah spesifik untuk daerah wisata, serta memastikan anggaran untuk restorasi ekosistem sungai di Bali.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan pendekatan multi-stakeholder. Pemerintah daerah Bali harus meningkatkan kapasitas pengumpulan sampah dengan armada truk modern dan program daur ulang. Wisatawan dapat dilibatkan melalui kampanye “Leave No Trace” di hotel dan resort. Sementara itu, Anggota DPR dapat mendorong insentif pajak bagi bisnis pariwisata yang menerapkan zero waste.
Rekomendasi utama meliputi:
-
Peningkatan Anggaran Nasional: Alokasikan dana khusus untuk infrastruktur sampah di Bali melalui APBN 2026.
-
Pengawasan Ketat: DPR harus membentuk tim pengawas untuk memantau implementasi kebijakan di daerah.
-
Kolaborasi Internasional: Kerjasama dengan negara-negara maju untuk transfer teknologi pengelolaan sampah.
-
Edukasi Masyarakat: Program sekolah dan komunitas untuk kesadaran lingkungan.
Dengan langkah-langkah ini, Bali dapat kembali menjadi destinasi wisata berkelanjutan, bebas dari ancaman banjir akibat sampah.
Krisis pengelolaan sampah di daerah wisata Bali bukan hanya masalah lokal, tetapi juga tantangan nasional yang memerlukan peran aktif Anggota DPR. Banjir yang memburuk akibat sampah ini mengancam ekonomi, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Hanya dengan kebijakan yang tegas dan implementasi yang cepat, kita dapat menyelamatkan keindahan Bali untuk generasi mendatang. Mari dukung upaya DPR untuk mewujudkan Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan.