koranmetro.com – Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah selalu menjadi sorotan publik, terlebih ketika praktik tersebut diduga melibatkan anggota keluarga sendiri. Salah satu yang menyita perhatian adalah perkara yang menjerat Bupati Bekasi, di mana relasi ayah dan anak disebut berperan bersama dalam pusaran dugaan tindak pidana korupsi. Kasus ini tidak hanya menimbulkan kegaduhan politik, tetapi juga mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan daerah.
Dalam perkara ini, Bupati Bekasi diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam pengelolaan anggaran dan perizinan proyek strategis daerah. Praktik tersebut disebut tidak dilakukan seorang diri. Anak sang bupati diduga berperan sebagai perantara atau pihak yang ikut menikmati aliran dana, baik secara langsung maupun melalui perusahaan atau jaringan tertentu. Pola seperti ini kerap disebut sebagai bentuk korupsi berbasis dinasti, di mana kekuasaan digunakan untuk memperkaya lingkaran keluarga.
Keterlibatan anggota keluarga dalam kasus korupsi memperlihatkan bagaimana batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi bisa menjadi kabur. Jabatan publik yang seharusnya dijalankan untuk melayani masyarakat justru dimanfaatkan untuk membangun pengaruh ekonomi keluarga. Dalam konteks ini, relasi ayah dan anak bukan lagi sekadar hubungan darah, melainkan menjadi alat untuk memperkuat kendali atas proyek dan anggaran daerah.
Kasus Bupati Bekasi juga memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan internal di pemerintahan daerah. Ketika kekuasaan terpusat pada satu figur dan lingkaran terdekatnya, potensi penyalahgunaan wewenang semakin besar. Aparatur di bawahnya sering kali berada dalam posisi sulit, antara menjalankan aturan atau mengikuti kehendak atasan demi menjaga posisi dan keamanan karier.
Dari sisi hukum, penanganan kasus ini menjadi ujian bagi penegakan keadilan. Publik menaruh harapan agar proses hukum berjalan transparan dan tidak pandang bulu, terlepas dari status politik maupun hubungan keluarga para pihak yang terlibat. Penindakan tegas dinilai penting untuk memberikan efek jera sekaligus pesan bahwa kekuasaan tidak boleh diwariskan untuk tujuan koruptif.
Lebih jauh, kasus ini menjadi pengingat akan bahaya politik dinasti dalam pemerintahan daerah. Ketika kekuasaan hanya berputar di lingkaran keluarga, risiko konflik kepentingan dan praktik korupsi semakin tinggi. Masyarakat pun dirugikan karena kebijakan publik tidak lagi berorientasi pada kepentingan umum, melainkan pada keuntungan segelintir orang.
Kasus Bupati Bekasi dengan dugaan keterlibatan anak dan ayah dalam praktik korupsi menjadi cermin bahwa reformasi birokrasi dan penguatan integritas pejabat publik masih menjadi pekerjaan besar. Tanpa pengawasan ketat dan kesadaran moral yang kuat, kekuasaan mudah berubah menjadi alat untuk kepentingan pribadi dan keluarga, jauh dari tujuan awalnya sebagai amanah rakyat.









