JAKARTA, koranmetro.com – Angkatan udara Iran menjadi sorotan karena armada jet tempurnya yang beragam, banyak di antaranya masih beroperasi meski sudah tua. Inventaris Iran mencakup jet buatan Amerika seperti F-5, F-14 Tomcat, dan F-4 Phantom II, serta jet Rusia seperti MiG-29 dan Sukhoi. Iran juga mengembangkan pesawat sendiri, seperti Saeqeh dan Kowsar, sebagai respons terhadap sanksi internasional yang membatasi akses ke teknologi modern dan suku cadang. Pada tahun 2025, Iran menarik perhatian dengan mengakuisisi 40 jet Chengdu J-10C dari Tiongkok, langkah untuk memperkuat kemampuan udaranya dengan jet generasi 4.5 yang dilengkapi radar AESA dan sistem fly-by-wire digital. Dengan harga sekitar US$50-90 juta per unit, jet ini menunjukkan niat Iran untuk memodernisasi angkatan udaranya di tengah ketegangan regional. Namun, ketergantungan pada model lama seperti F-5, yang menyebabkan kematian seorang pilot pada 2021 akibat tantangan perawatan, menggarisbawahi keterbatasan akibat sanksi. Dengan sekitar 200 jet, angkatan udara Iran tetap menjadi kekuatan signifikan di kawasan, menyeimbangkan teknologi impor dengan inovasi lokal.
Tindakan Tegas Singapura terhadap Pekerjaan Sampingan Ilegal Pekerja Migran
Di sisi lain, sebuah kasus di Singapura menyoroti peraturan ketat negara itu terhadap pekerja migran. Seorang asisten rumah tangga (ART) asal Filipina berusia 53 tahun, Pido Erlinda Ocampo, didenda S$13.000 (sekitar Rp 164 juta) karena bekerja paruh waktu secara ilegal tanpa izin yang sah. Majikannya, Soh Oi Bek, warga Singapura berusia 64 tahun, juga didenda S$7.000 (sekitar Rp 88 juta) karena mempekerjakannya tanpa otorisasi. Kasus ini, yang terungkap pada Desember 2024, melibatkan Erlinda yang bekerja paruh waktu untuk Soh dan majikan lain, menghasilkan S$375-450 per bulan per pekerjaan. Kementerian Tenaga Kerja Singapura (MOM) menyelidiki pelanggaran ini berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Tenaga Asing, menegaskan sikap tegas Singapura terhadap pekerjaan tanpa izin. Denda yang telah dibayar penuh oleh kedua pihak mencerminkan komitmen Singapura untuk menegakkan hukum ketenagakerjaan, dengan potensi hukuman untuk pelanggaran semacam ini termasuk penjara hingga dua tahun atau denda hingga S$20.000 untuk pekerja, serta penjara hingga 12 bulan atau denda hingga S$30.000 untuk majikan. Kasus ini menggarisbawahi tantangan yang dihadapi pekerja migran dalam sistem ketenagakerjaan Singapura yang diatur ketat.
Dari upaya strategis Iran untuk memodernisasi angkatan udaranya hingga penegakan hukum ketat Singapura terhadap pekerja migran, kedua kisah ini mencerminkan tema yang lebih luas tentang keamanan nasional dan pengawasan regulasi. Akuisisi jet canggih oleh Iran menunjukkan tekadnya untuk mempertahankan pengaruh regional, sementara denda besar di Singapura menjadi pengingat akan tingginya risiko yang dihadapi pekerja migran dalam kerangka hukum yang ketat. Kedua kasus ini menyoroti kompleksitas dalam menyeimbangkan modernisasi, kepatuhan, dan tekanan global di dunia yang saling terhubung saat ini.