JAKARTA , koranmetro.com – Kasus dugaan pelanggaran etik yang melibatkan lima anggota DPR RI kembali menjadi sorotan publik. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI mengumumkan bahwa sidang etik terhadap Ahmad Sahroni dan rekan-rekannya akan digelar pekan depan. Salah satu sorotan utama adalah laporan terhadap Sahroni, yang disebabkan oleh ucapannya yang menggunakan diksi tidak pantas di hadapan publik. Pernyataan ini dinilai merendahkan martabat rakyat dan memicu gelombang protes besar-besaran.
Menurut Ketua MKD DPR, Nazaruddin Kiemas, laporan terhadap Sahroni secara spesifik menyoroti ucapannya yang dianggap melanggar prinsip kehormatan dan kepatutan sebagai wakil rakyat. “Lima, teradu saudara Ahmad Sahroni dilaporkan atas ucapannya langsung di hadapan publik dengan menggunakan diksi yang tidak pantas,” ujar Nazaruddin saat menjelaskan alasan laporan di Kompleks DPR, Senin (3/11/2025).
Latar Belakang Kontroversi
Kontroversi ini bermula dari gelombang demonstrasi nasional pada akhir Agustus 2025, yang dipicu oleh rincian gaji dan tunjangan anggota DPR yang mencapai Rp 230 juta per bulan. Masyarakat menilai besaran tersebut tidak sebanding dengan kinerja DPR, apalagi di tengah kenaikan harga pangan dan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar. Seruan untuk membubarkan DPR pun mencuat di berbagai platform media sosial dan jalanan.
Di tengah hiruk-pikuk tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ahmad Sahroni, membuat pernyataan yang viral. Saat kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara pada 22 Agustus 2025, Sahroni merespons aspirasi pembubaran DPR dengan menyebutnya sebagai cerminan “mental orang tolol sedunia”. “Enggak bodoh semua kita,” tambahnya, yang justru diinterpretasikan sebagai sindiran terhadap rakyat.
Ucapan ini langsung memicu kemarahan netizen dan aktivis. Banyak yang menilai pernyataan Sahroni tidak hanya kasar, tetapi juga mencederai hak konstitusional rakyat untuk menyampaikan kritik, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Laporan yang Mengalir
Tak butuh waktu lama bagi ucapan Sahroni untuk berujung pada laporan formal ke MKD. Pada 27 Agustus 2025, aktivis hukum Hotman Samosir, S.H., D.Com, menyerahkan berkas pengaduan dengan Tanda Terima Surat Pengaduan (TTSP) yang ditandatangani oleh Sekretariat MKD. “Laporan ini bukan main-main, karena menyangkut ucapan yang merendahkan rakyat,” tegas Hotman kepada media.
Selanjutnya, pada 2 September 2025, DPW Komunitas Pemberantas Korupsi Sumatera Barat, di bawah Ketua Darlinsah, S.H., LL.M., mengajukan laporan serupa atas dugaan pelanggaran kode etik berat. Mereka menyoroti bahwa diksi “mental orang tolol” melanggar Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik, yang menuntut anggota DPR berinteraksi secara beradab dan hormat.
Puncaknya, Partai Buruh bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melaporkan Sahroni beserta empat anggota DPR lainnya pada 3 September 2025. Kelima legislator itu—Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (NasDem), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio serta Surya Utama alias Uya Kuya (PAN), dan Adies Kadir (Golkar)—sebelumnya telah dinonaktifkan oleh partai masing-masing sejak 1 September 2025. Ketua Umum Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa “penonaktifan” bukan istilah yang diakui UU MD3, sehingga MKD harus menentukan sanksi akhir.
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) juga ikut bersuara, mendesak MKD untuk memecat Sahroni dari parlemen. Koordinator GMNI, Risyad, menyebut ucapan itu sebagai provokasi yang melanggar prinsip kehormatan, keadilan, dan kepatutan, serta berkontribusi pada tragedi demo di mana seorang driver ojek online tewas terlindas kendaraan aparat.
Respons Sahroni dan Partai
Sahroni membela diri dengan mengklaim ucapannya dipahami keliru dan “digoreng” seolah ditujukan kepada masyarakat. Fraksi NasDem bahkan memutasi Sahroni dari Wakil Ketua Komisi III ke anggota Komisi I pada 29 Agustus 2025, meski Ketua Umum Surya Paloh menonaktifkan dia dan Nafa Urbach dari keanggotaan DPR fraksi. “Ini langkah disiplin internal,” kata perwakilan NasDem.
Mantan Wakapolri Adang Daradjatun, anggota MKD, menekankan bahwa anggota DPR “tidak bisa bicara seenaknya” karena menyangkut martabat lembaga. Pengamat politik Lucius Karus menilai proses ini bisa berujung pada pemberhentian atau penggantian antarwaktu (PAW), meski penonaktifan partai tidak otomatis menghapus status keanggotaan DPR.
Dampak dan Harapan ke Depan
Kasus ini bukan hanya ujian bagi MKD, tapi juga cerminan sensitivitas DPR terhadap aspirasi rakyat. Demonstrasi Agustus 2025 yang berujung korban jiwa menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Dengan sidang etik dijadwalkan pekan depan, publik menanti apakah MKD akan memberikan sanksi tegas atau justru menambah daftar kontroversi parlemen.









