JAKARTA, koranmetro.com – Pada Mei 2025, sebuah kasus yang mengguncang ruang digital Indonesia terjadi: seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS ditangkap karena mengunggah meme yang dibuat dengan kecerdasan buatan (AI), menggambarkan Presiden ke-8 Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dalam posisi berciuman. Meme ini, yang dimaksudkan sebagai satire politik, memicu reaksi keras dari aparat kepolisian, dengan mahasiswi tersebut dijerat menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus ini bukan hanya tentang sebuah meme, tetapi menjadi cerminan ancaman nyata terhadap kebebasan sipil dan berekspresi di Indonesia, yang kian tergerus di tengah iklim demokrasi yang rapuh.
Latar Belakang Kasus
Meme tersebut pertama kali menjadi perhatian publik melalui unggahan di platform X oleh akun MurtadhaOne1 pada 7 Mei 2025, yang menyebutkan bahwa mahasiswi ITB “diangkut Bareskrim” karena meme tersebut. Polisi membenarkan penangkapan, dengan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan SSS sebagai tersangka berdasarkan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 2024, perubahan kedua atas UU ITE. Pasal-pasal ini mengatur tentang penyebaran konten yang dianggap melanggar kesusilaan dan manipulasi informasi elektronik, dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara dan denda hingga Rp12 miliar.
Menurut analisis, meme tersebut merupakan kritik satir terhadap isu “matahari kembar,” sebuah narasi yang menggambarkan pengaruh kuat Jokowi dalam pemerintahan Prabowo, meskipun masa kepresidenannya telah berakhir. Namun, alih-alih diterima sebagai bentuk ekspresi politik, meme ini dianggap melanggar kesusilaan, memicu penangkapan yang dianggap banyak pihak sebagai kriminalisasi kebebasan berekspresi.
Reaksi dan Kontroversi
Penangkapan SSS memicu gelombang protes dari berbagai kalangan. Amnesty International Indonesia menyebut kasus ini sebagai “praktik otoriter” yang bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 dan standar hak asasi manusia internasional. Direktur Amnesty, Usman Hamid, menegaskan bahwa lembaga negara seperti presiden tidak seharusnya dilindungi reputasinya dengan hukum pidana, dan kriminalisasi semacam ini menciptakan “chilling effect” atau suasana ketakutan yang membungkam kritik masyarakat.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga mengecam tindakan polisi, menyebutnya sebagai bukti bahwa negara “anti-kritik.” Kepala Divisi Hukum Kontras, Andrie Yunus, menyatakan bahwa penangkapan ini menunjukkan penyimpangan polisi dari tugasnya sebagai pelindung masyarakat. Sementara itu, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menuntut pembebasan SSS tanpa syarat, menegaskan bahwa meme tersebut adalah bentuk satire yang sah dalam demokrasi.
Di sisi lain, Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengusulkan agar mahasiswi tersebut dibina, bukan dihukum, karena usianya yang masih muda dan semangatnya dalam menyampaikan kritik. Namun, ia menyerahkan proses hukum kepada polisi, menunjukkan sikap ambivalen pemerintah. Orang tua SSS juga telah meminta maaf di kampus ITB pada 9 Mei 2025, tetapi ini tidak menghentikan proses hukum yang berjalan.
Ancaman terhadap Kebebasan Sipil
Kasus ini bukanlah insiden terisolasi. Amnesty International Indonesia mencatat bahwa antara 2019 dan 2024, terdapat setidaknya 530 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi yang dikriminalisasi melalui UU ITE, menimpa 563 orang. Mayoritas kasus melibatkan patroli siber Polri (258 kasus, 271 korban) dan laporan dari pemerintah daerah (63 kasus, 68 korban). Angka ini menunjukkan pola sistematis dalam penggunaan hukum untuk membungkam suara kritis, sebuah tren yang telah berlangsung sejak era kepemimpinan Jokowi.
Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan No. 115 dan 105/PUU-XXII/2024 pada 29 April 2025, telah mempertegas bahwa lembaga publik tidak dapat merasa “terhina” dan melaporkan warga atas dasar pencemaran nama baik. Namun, penangkapan SSS menunjukkan bahwa putusan ini belum sepenuhnya diindahkan. Pasal-pasal karet dalam UU ITE, seperti yang berkaitan dengan kesusilaan, sering disalahgunakan untuk menjerat individu tanpa definisi yang jelas tentang pelanggaran yang dimaksud. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Dampak pada Demokrasi
Kebebasan berekspresi adalah pilar utama demokrasi. Ketika ekspresi satir atau kritik seperti meme dianggap sebagai kejahatan, ruang demokrasi menyempit. Seperti yang diungkapkan dalam laporan Kompas, “Demokrasi tidak akan tumbang lewat kudeta; ia perlahan mati karena rakyat takut bicara.” Kasus SSS mencerminkan “chilling effect” yang membuat masyarakat enggan menyuarakan pendapat karena takut dikriminalisasi.
Lebih jauh, kasus ini menyoroti kontradiksi dalam narasi pemerintah. Di satu sisi, pejabat seperti Hasan Nasbi mengakui pentingnya kritik dalam demokrasi; di sisi lain, aparat hukum dengan cepat menggunakan UU ITE untuk menekan ekspresi. Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB, Farell Faiz Firmansyah, menegaskan bahwa seni, termasuk meme, adalah bentuk kebebasan berekspresi yang seharusnya dilindungi, bukan dikriminalisasi.
Refleksi dan Jalan ke Depan
Kasus meme Jokowi-Prabowo bukan sekadar tentang sebuah gambar, tetapi tentang bagaimana negara menangani kritik dan kebebasan sipil. Indonesia perlu mereformasi UU ITE, khususnya pasal-pasal karet yang rentan disalahgunakan, untuk memastikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Selain itu, aparat penegak hukum harus lebih memahami batas-batas antara kritik politik dan pelanggaran hukum, serta menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang melindungi warga dari kriminalisasi oleh lembaga publik.
Masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, akademisi, dan aktivis, juga perlu terus bersuara untuk menjaga ruang demokrasi. Seperti yang dikatakan Koordinator BEM SI, Herianto, “Hari ini satu ditangkap, besok bisa seribu dibungkam.” Keberanian untuk tetap kritis adalah kunci untuk mencegah demokrasi Indonesia tergelincir ke arah otoritarianisme.
Kasus ini adalah pengingat bahwa kebebasan berekspresi bukanlah hak yang diberikan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan. Meme mungkin terlihat sepele, tetapi di baliknya terdapat pertarungan besar untuk menjaga jiwa demokrasi Indonesia.