JAKARTA, koranmetro.com – Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, berhasil mencatatkan prestasi diplomatik yang luar biasa dengan memediasi gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja, menyelesaikan konflik bersenjata yang memanas di perbatasan kedua negara. Konflik yang dipicu oleh sengketa wilayah, khususnya di sekitar kompleks kuil Preah Vihear, telah menewaskan puluhan orang dan mengungsikan lebih dari 200.000 warga sejak pecah pada 24 Juli 2025. Keberhasilan Anwar ini bahkan mendapat perhatian khusus dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang sempat mengancam kedua negara dengan sanksi tarif jika konflik berlanjut.
Latar Belakang Konflik
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja bukanlah hal baru. Ketegangan ini berakar pada klaim tumpang tindih atas wilayah di sekitar kuil Preah Vihear, yang diperparah oleh garis demarkasi warisan kolonial Prancis pada 1907 yang dianggap ambigu oleh kedua pihak. Bentrokan terbaru, yang merupakan yang paling mematikan sejak 2008-2011, meningkat setelah seorang tentara Kamboja tewas pada Mei 2025, diikuti oleh insiden ranjau darat yang melukai tentara Thailand. Situasi memburuk dengan penarikan duta besar dan penutupan perbatasan oleh Thailand, memicu pertempuran sengit yang melibatkan artileri berat, roket, dan bahkan serangan udara.
Peran Kunci Anwar Ibrahim
Sebagai Ketua ASEAN, Anwar Ibrahim dengan cepat mengambil inisiatif untuk meredakan ketegangan. Ia menggagas pertemuan darurat di Putrajaya, Malaysia, pada 28 Juli 2025, yang dihadiri oleh Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet. Anwar menekankan pentingnya diplomasi regional dan musyawarah, menolak spekulasi bahwa gencatan senjata terjadi akibat tekanan eksternal, termasuk dari Trump. Dalam konferensi pers pasca-pertemuan, Anwar menyatakan bahwa kedua pemimpin menunjukkan komitmen kuat untuk perdamaian, dengan kesepakatan gencatan senjata segera dan tanpa syarat yang mulai berlaku tengah malam waktu setempat.
Langkah konkret yang disepakati termasuk pertemuan komandan militer regional pada 29 Juli 2025, diikuti oleh pembicaraan atase pertahanan yang dimediasi Malaysia. Selain itu, Komite Perbatasan Umum (General Border Committee/GBC) dijadwalkan bertemu pada 4 Agustus di Kamboja untuk membahas solusi jangka panjang. Anwar juga memastikan jalur komunikasi langsung antara kedua negara diaktifkan kembali untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Respons Donald Trump
Presiden AS Donald Trump memainkan peran tambahan dalam mendorong negosiasi. Pada 26 Juli 2025, Trump menghubungi pemimpin Thailand dan Kamboja, memperingatkan bahwa AS tidak akan melanjutkan negosiasi tarif dagang jika konflik berlanjut. Ia bahkan mengancam tarif 36% atas ekspor kedua negara ke AS, pasar terbesar mereka. Setelah gencatan senjata tercapai, Trump memuji keberhasilan mediasi, meskipun Anwar menegaskan bahwa terobosan ini murni hasil diplomasi regional. Dalam sebuah pernyataan di Truth Social, Trump menyebut kesepakatan ini sebagai “berita positif” bagi kedua negara, meski Thailand awalnya menolak mediasi pihak ketiga.
Dukungan Regional dan Internasional
Keberhasilan Anwar mendapat apresiasi luas dari negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Presiden Indonesia Prabowo Subianto, dalam pertemuan dengan Anwar di Jakarta pada 29 Juli 2025, memuji kepemimpinan Malaysia dalam menyelesaikan konflik secara damai. Prabowo menegaskan kesiapan Indonesia untuk mendukung upaya mediasi lebih lanjut jika diperlukan. Menteri Dalam Negeri Indonesia Tito Karnavian dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menyambut positif inisiatif Anwar, menyebutnya sebagai terobosan penting bagi stabilitas kawasan.
Tiongkok, yang memiliki hubungan dekat dengan Kamboja, juga menunjukkan minat untuk bergabung dalam perundingan damai, meskipun Anwar memastikan bahwa proses mediasi tetap berada di bawah payung ASEAN. Upaya ini mencerminkan semangat kerja sama regional yang menjadi ciri khas ASEAN dalam menyelesaikan konflik.
Tantangan ke Depan
Meskipun gencatan senjata telah disepakati, tantangan masih ada. Thailand menuduh Kamboja melanggar kesepakatan dengan serangan artileri pasca-gencatan senjata, sementara Kamboja membantah tuduhan tersebut dan menuding Thailand sebagai agresor. Anwar mengakui bahwa penarikan pasukan memerlukan waktu dan koordinasi ketat untuk mencegah konflik berulang. Kompleksitas sengketa perbatasan, terutama terkait kuil Preah Vihear, juga menuntut solusi jangka panjang yang melibatkan kerja sama bilateral dan dukungan ASEAN.
Keberhasilan Anwar Ibrahim dalam memediasi gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja menegaskan peran penting diplomasi regional dalam menyelesaikan konflik. Dengan mengesampingkan tekanan eksternal dan fokus pada musyawarah, Anwar telah menunjukkan bahwa ASEAN mampu menangani krisis di kawasannya sendiri. Prestasi ini tidak hanya membawa harapan bagi perdamaian di perbatasan Thailand-Kamboja, tetapi juga memperkuat posisi Malaysia sebagai pemimpin dalam forum ASEAN. Sementara Trump dan pihak lain seperti Tiongkok memberikan dorongan, keberhasilan ini tetap menjadi kemenangan diplomasi ASEAN di bawah kepemimpinan Anwar Ibrahim.