JAKARTA, koranmetro.com – Gelombang demonstrasi besar-besaran melanda Turki menyusul penangkapan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, yang dianggap sebagai rival utama Presiden Recep Tayyip Erdogan. Protes yang bermula di Istanbul kini menyebar ke berbagai kota seperti Ankara dan Izmir, dengan ribuan warga turun ke jalan menuntut pembebasan Imamoglu. Penangkapan ini, yang terjadi pada 19 Maret 2025, terkait dugaan korupsi dan hubungan dengan kelompok teroris, memicu tuduhan bahwa langkah tersebut bermotif politik menjelang pemilu presiden 2028.
Aksi protes di Istanbul berpusat di sekitar Balai Kota dan markas polisi, di mana bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan tak terhindarkan. Polisi menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan massa, sementara pihak berwenang melaporkan penahanan 343 demonstran di seluruh Turki hingga 22 Maret. Ketua Partai Rakyat Republik (CHP), Ozgur Ozel, menyebut penangkapan ini sebagai “kudeta politik” oleh Erdogan untuk menyingkirkan lawan potensial.
Imamoglu, yang dikenal sebagai tokoh oposisi karismatik, telah lama menjadi target tekanan hukum. Pada 2022, ia sempat dilarang berpolitik atas tuduhan menghina komisi pemilu, meski putusan itu masih dalam banding. Kini, penahanannya memicu kekhawatiran bahwa Turki semakin bergeser ke arah otoritarianisme. Pemerintah membantah tuduhan tersebut, menyebut proses hukum berjalan sesuai bukti.
Di tengah eskalasi, akses ke pengadilan dan stasiun metro di Istanbul ditutup, sementara larangan demonstrasi diberlakukan selama empat hari. Namun, hal ini tak menyurutkan semangat warga. Media sosial diramaikan dengan tagar solidaritas untuk Imamoglu, sementara banyak pihak internasional mengkritik tindakan keras Turki terhadap oposisi. Situasi ini menambah ketegangan politik di negara tersebut, dengan potensi dampak jangka panjang terhadap stabilitas demokrasi Turki. Warga berharap tekanan publik dapat memaksa pemerintah mempertimbangkan kembali langkahnya sebelum konflik semakin memburuk.