koranmetro.com – Di tengah gejolak ekonomi Iran yang semakin parah akibat sanksi internasional dan inflasi melonjak, sebuah kasus penipuan investasi raksasa akhirnya mencapai klimaks tragis. Pada 7 Desember 2025, Mohammad Reza Ghaffari, pemilik perusahaan Rezaayat Khodro Taravat Novin, dieksekusi mati melalui hukuman gantung setelah Mahkamah Agung Iran menegakkan vonisnya. Kasus ini bukan sekadar kejahatan finansial biasa—ini adalah skema Ponzi yang merugikan puluhan ribu warga biasa hingga setara Rp5,8 triliun (berdasarkan kurs Rp16.500 per USD), meninggalkan jejak kehancuran bagi keluarga-keluarga yang mempercayakan tabungan hidup mereka untuk “investasi mobil murah”.
Kronologi kasus ini menjadi sorotan global, memicu perdebatan sengit tentang keadilan pidana di Iran, di mana eksekusi untuk kejahatan ekonomi sering dikritik sebagai alat represi oleh kelompok hak asasi manusia seperti Human Rights Watch. Namun, bagi korban, eksekusi Ghaffari hanyalah titik akhir dari mimpi buruk panjang yang dimulai bertahun-tahun lalu.
Kronologi Kasus: Dari Janji Mobil Murah ke Neraka Ponzi
Semuanya bermula pada 2018, ketika Rezaayat Khodro Taravat Novin diluncurkan sebagai “solusi revolusioner” untuk krisis otomotif Iran. Perusahaan milik Ghaffari menjanjikan program “beli mobil sekarang, bayar cicilan ringan”—sebuah skema di mana calon pembeli menyetor uang muka besar untuk reservasi mobil impor atau lokal yang langka di pasar Iran yang kekurangan pasokan. Dengan slogan “Akses mudah ke roda impian Anda”, perusahaan ini menarik ribuan investor kelas menengah bawah yang haus akan kendaraan di tengah embargo AS yang membuat harga mobil melambung.
Tapi kenyataannya jauh lebih gelap. Jaksa penuntut mengungkap bahwa Ghaffari dan rekan-rekannya mengumpulkan “jumlah uang besar dari masyarakat” melalui model Ponzi klasik: Uang dari investor baru digunakan untuk membayar “keuntungan” atau pengiriman palsu kepada klien awal, menciptakan ilusi kesuksesan. Hanya 4% pelanggan yang benar-benar menerima mobil, sementara sisanya dibiarkan dengan janji kosong dan ancaman hukum. Kerugian total? Sekitar $350 juta (Rp5,8 triliun), setara dengan biaya hidup 100.000 keluarga Iran selama setahun di tengah inflasi 40%+.
Penyelidikan dimulai pada 2022 setelah keluhan membanjiri otoritas. Ghaffari ditangkap pada 2023, diadili atas tuduhan “gangguan besar-besaran terhadap sistem ekonomi negara” dan penipuan jaringan. Selama persidangan, ia mengklaim bersedia mengganti rugi korban, tapi Mahkamah Agung menolak banding dan menegakkan hukuman mati pada November 2025. Eksekusi dilakukan di penjara Tehran, disiarkan melalui portal Mizan Online milik yudikatif Iran sebagai peringatan publik.
Dampak bagi Korban: Lebih dari Uang, Ini Soal Harapan yang Hancur
Bayangkan: Seorang sopir taksi di Tehran yang menabung bertahun-tahun untuk mobil baru agar bisa tambah jam kerja, atau ibu rumah tangga di Isfahan yang meminjam dari kerabat untuk “investasi aman”. Puluhan ribu orang seperti ini kehilangan segalanya—rumah, tabungan pensiun, bahkan kehormatan keluarga. Di media sosial Iran seperti Instagram dan Telegram, hashtag #RezaayatScam trending sejak 2023, dengan cerita pilu korban yang tak kunjung mendapat kompensasi penuh.
Kerugian finansial $350 juta ini bukan angka abstrak; itu setara dengan 1% dari anggaran subsidi bahan bakar Iran yang sudah ketat, memperburuk kemiskinan di negara dengan 30% pengangguran pemuda. Beberapa korban bahkan bunuh diri, menurut laporan Amnesty International, sementara yang lain bergabung dengan demonstrasi anti-korupsi yang sering dibubarkan polisi.
| Aspek Kerugian | Dampak Utama |
|---|---|
| Finansial | $350 juta hilang; hanya 4% korban dapat mobil |
| Sosial | Ribuan keluarga hancur; peningkatan perceraian & kemiskinan |
| Ekonomi Nasional | Gangguan kepercayaan publik terhadap investasi; inflasi naik 5% di sektor otomotif |
| Psikologis | Korban trauma; gelombang tuntutan hukum yang membebani pengadilan |
Keadilan atau Represi? Debat Hukuman Mati di Iran
Eksekusi Ghaffari adalah bagian dari “gelombang eksekusi” Iran di 2025, di mana setidaknya 1.000 orang telah digantung sejak Januari—tertinggi dalam empat dekade, menurut Iran Human Rights. Pemerintah membenarkannya sebagai “penegakan ketertiban ekonomi” di tengah sanksi AS yang membuat mata uang rial anjlok 50% tahun ini. Tapi kritikus seperti PBB menyebutnya “eksekusi industri” yang melanggar hak asasi internasional, terutama karena 499 di antaranya terkait narkoba dan kejahatan ekonomi.
Human Rights Watch mencatat lonjakan 75% eksekusi di paruh pertama 2025, sering tanpa proses hukum yang adil. Kasus Ghaffari, meski melibatkan korban massal, memicu pertanyaan: Apakah gantung satu orang cukup untuk balas dendam, atau justru menutupi kegagalan sistemik seperti korupsi pemerintah yang memungkinkan skema seperti ini berkembang?
Pelajaran Global: Penipuan Ponzi di Tengah Krisis Ekonomi
Kasus ini mirip skema Ponzi global seperti Bernie Madoff ($65 miliar) atau OneCoin ($4 miliar), tapi di Iran, sanksi membuat regulasi lemah dan investor putus asa. Di Indonesia, kasus serupa seperti robot trading ilegal (kerugian Rp1 triliun+) menunjukkan pola sama: Janji cepat kaya di tengah inflasi.
Untuk mencegahnya:
- Regulasi Ketat: OJK di Indonesia atau Bappebti harus perketat lisensi investasi.
- Edukasi Publik: Kampanye anti-scam via TikTok dan media sosial.
- Teknologi: Gunakan blockchain untuk transparansi, seperti di DeFi yang aman.
Eksekusi Mohammad Reza Ghaffari menutup babak satu tragedi, tapi luka Rp5,8 triliun bagi warga Iran tetap menganga. Di negara yang bergulat dengan sanksi dan korupsi, kasus ini jadi pengingat pahit: Hukuman mati mungkin beri keadilan instan, tapi tanpa reformasi sistemik, penipuan baru akan lahir lagi. Bagi korban di seluruh dunia, harapannya adalah keadilan sejati—bukan darah, tapi pemulihan.









