JAKARTA, koranmetro.com – Gelombang krisis yang melanda industri startup dalam beberapa tahun terakhir memunculkan kekhawatiran bahwa dampaknya bisa meluas ke sektor teknologi lainnya. Banyak perusahaan rintisan, termasuk yang sebelumnya mendapat pendanaan besar, kini mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, kesulitan mendapatkan investasi baru, dan bahkan kebangkrutan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan apakah sektor teknologi secara keseluruhan juga terancam mengalami perlambatan serupa.
Salah satu faktor utama di balik krisis startup adalah menurunnya pendanaan dari investor modal ventura. Setelah era pertumbuhan agresif yang didorong oleh likuiditas tinggi, kini para investor semakin selektif dalam menanamkan modal mereka, terutama setelah banyak startup gagal mencapai profitabilitas. Suku bunga yang lebih tinggi dan ketidakpastian ekonomi global juga memperburuk situasi, membuat pendanaan menjadi lebih sulit didapat.
Selain itu, model bisnis yang tidak berkelanjutan menjadi tantangan utama bagi banyak startup teknologi. Banyak perusahaan rintisan yang bergantung pada strategi “bakar uang” untuk menarik pelanggan tanpa memiliki jalur keuntungan yang jelas. Ketika arus kas semakin terbatas, mereka kesulitan bertahan di tengah persaingan yang ketat.
Dampak dari krisis startup bisa menjalar ke sektor teknologi lain, terutama bagi perusahaan yang bergantung pada ekosistem digital. Industri seperti e-commerce, fintech, dan cloud computing dapat terkena imbas jika perusahaan-perusahaan rintisan yang menjadi klien utama mereka mengalami kegagalan. Namun, perusahaan teknologi besar dengan model bisnis yang lebih matang dan pendapatan stabil kemungkinan tetap bisa bertahan.
Para analis menilai bahwa meskipun krisis ini menekan industri startup, bukan berarti seluruh sektor teknologi akan mengalami kejatuhan yang sama. Justru, kondisi ini dapat mendorong inovasi yang lebih berkelanjutan dan seleksi alam di dunia startup, di mana hanya perusahaan dengan model bisnis yang solid yang bisa bertahan.